Kamis, 01 Juli 2010

Geni Jora dan Biografi Gender

Oleh: Abimardha Kurniawan


Dalam banyak hal sastra dianggap tanggap, dianggap dapat mewakili suara elemen masyarakat tertentu dalam menanggapi problematika sosialnya. Berbagai macam represi yang dialami oleh elemen tertentu, tentunya akan mendapat tanggapan yang kritis dan cerdas. Dari sini terlihat bahwa sastra tidak akan lahir dari kosong pengalaman. Ada tenaga atau ruh-ruh dari peristiwa, gejala sosial, atau pun kegelisahan diri yang dapat memicu lahirnya karya sastra. Penekanannya adalah pengalaman pembacaan. Apakah pengalaman pembacaan ini nantinya terbukti sebagai rahim bagi gagasan-gagasan filosofis yang akan membuat karya sastra berbinar, atau mungkin ia juga memberi andil lahirnya karya sastra melodramatik, populer, atau juga karya sastra (yang dianggap pakar sastra aristokrat) rendah, yang pasti pengalaman pembacaan memegang peranan penting dalam proses penciptaan karya sastra.

Sebermula karya sastra lahir sebagai kritik atas pengalaman-pengalaman tersebut. Pengalaman pembacaan di sini bukan hanya pengalaman yang berkaitan dengan dunia sastra, melainkan juga semua gerak hidup yang dijalani pengarang, termasuk pengalaman nonsastranya. Sedangkan kritik di sini bukan sesuatu yang terbatas lingkupnya, sebagaimana asumsi umum bahwa kritik adalah justifikasi (penghakiman) terhadap negativitas. Bukan. Kritik ini juga bisa berupa penganutan terhadap suatu konsepsi ide, entah positif, entah negatif. Sebagai misal, ketika seseorang melihat (baca: mengalami) suatu fenomena hedonisme, lantas muncul sensasi pada dirinya, dan muncul semacam olah pikir dan perasaan, kemudian ia merasa nyaman untuk hidup sebagai representaornya, maka hal ini bisa dikatakan sebagai kritik juga. Sebab dalam proses itu melibatkan pertimbangan dan pengambilan keputusan (layaknya seorang hakim) oleh individu terhadap fenomena yang dialaminya. Sesungguhnya di sini terjadi proses transendensi dan imanensi. Seseorang mengalami pengalaman tersebut secara imanen dalam sifat lahiriah atau inderawi. Kemudian ia beranjak keluar dari pengalaman inderawi tersebut untuk akhirnya melakukan penilaian, pertimabangan, dan menghakimi pengalaman tersebut (transenden).

Maka dalam beberapa kesempatan ada dikatakan bahwa sastra seharusnya berangkat dari kejujuran pengarang. Hal itu memang akan menghasilkan karya sastra yang benar-benar utuh, benar-benar bisa mewakili suara terdalam pengarangnya. Karakter pengaang yang benar-benar pengarang muncul di situ. Pengarang bisa tampil utuh, walaupun ada batasannya. Batasan itu sebenarnya tak hendak membatasi pengarang. Justru batasan inilah yang memberi garis tegas antara karya sastra dan nonsastra. Batasan itu ialah konvensi sastra. Dengan konvensi sastra, suara pengangarang bisa terwakili dalam media sastra yang tidak terjebak sepenuhnya ke dalam hal-hal nonsastra. Bisa jadi karya-karya yang secara utuh menghadirkan suara pengarangnya tidak tergolong karya sastra, melainkan hanya berupa biografi, esai, artikel, atau karangan-karangan nonsastra belaka. Untuk itu, pembebatan suara-suara itu dengan anasir pendungkung konvensi sastra sangat diperlukan. Nilai-nilai artistik dan pengimajinasian akan mebungkus akan menimbulkan kesan yang lain terhadap suara itu, yaitu estetika dan fiksionalitas. Namun pengkomunikasian harus tetap terjaga, sebab pengkomunikasian itu penting agar maksud dan pandangan dunia pengarang bisa sampai ke pembaca.

Sabagai pembahasan adalah novel Geni Jora karya Abidah el-Khalieqy. Karya ini bergenre prosa. Karya prosa dianggap lebih mampu mengutarakan gagasan-gagasan pengarang secara mendetail dibandingkan dengan puisi yang bahasanya padat dan lebih simbolis.

***

Mungkin akan sulit dimengerti apa alasan novel Geni Jora menjadi pemenang kedua sayembara penulsan novel Dewan kesenian Jakarta. Latar belakang apa yang menyebabkannya terpilih menjadi pemenang. Tentunya ini tidak semata-mata hanya didasarkan pada testimoni para juri sayembara ini (Maman S Mahayana dan Budi Darma). Meski ada kebenaran juga mengenai testimoni itu menyangkut ideologi gender yang mendominasi novel ini. Namun apakah karena ideologi gender itu, atau renik-renik biografis yang tertuang dalam novel ini? Karena pada masa itu (2003) gelombang feminisme begitu seksi memikat para pengarang, khusunya perempuan pengarang. Selain itu adanya statemen bahwa pada akhir abad duapuluh dan awal abad duapuluh satu, permpuan lebih banyak berbicara dalam segala hal, termasuk kesusasteraan. Dan kondisi itu mengalami booming dengan munculnya novel Saman (Ayu Utami) menjadi pemenang pertama sayembara serupa dan juga menjadi karya yang fenomenal, bahkan menggetarkan urat-urat pembacanya. Feminisme “seolah-olah” dirintis dari sini, walaupun ideologi feminisme bukanlah barang baru di negara-negara maju seperti Amerika dan Australia. Feminisme dan munculnya perempuan pengarang sedang genit-genitnya pada masa itu, dan Saman menjadi tonggaknya di Indonesia.

Padahal, dalam sejarah kesusateraan Indonesia banyak sekali karya-karya yang berbau feminisme. Kaya-karya itu tidak hanya hadir dai mulut perempuan saja, tetapi ada beberapa lelaki pengarang yang ikut ambil bagian di dalamnya. Terutama pada masa pujangga baru, Armijn Pane dengan Belenggu-nya yang mengangkat fenomena perempuan modern. Pramoedya Ananta Toer yang mengangkat perempuan-perempuan revolusioner. Sedang pada dekade 70-an hingga 90-an, dikenal pula Toeti Heraty hingga Dorothea Rosa Herliany. Indikasi ini menunjukkan gejala feminisme telah berlangsug lama dalam sejarah kesusasteraan Indonesia. Akan tetapi dominasi lelaki pengarang membuat eksistensi perempuan pengarang sedikit terhalang. Namun, para lelaki pengarang yang mengangkat figur perempuan dirasa hanya sebatas pada konsepsi tentang perempuan saja. Bukan menampilkannya secara utuh. Berbeda dengan perempuan pengarang bila mengetengahkan keperempuanan. Bahkan kecenderungan tebu pun sengaja dilanggar oleh perempuan pengarang ini. Mungkin saja hal itu menyangkut alasan biografis yang dialami sebagian besar (atau seluruhnya) kaum perempaun. Ada kejengahan tersendiri terhadap model kebudayaan patriarki yang terus menyuperiorkan kaum laki-laki dan menginferiorkan kaum perempuan. Kaum perempuan juga butuh pengakuan eksistensi denanbertempat yang sederajat dengan laki-laki di ranah publik.

***

Kejengahan itu nampak sekali dalam novel Geni Jora ini. Kejengahan itu muncul dan memicu tokoh Kejora dalam novel ini untuk mengembangkan gagasan kesetaaan gender. Ia berpegang pada prinsip kadilan antara laki-laki dan perempuan. Pada renik-renik novel ini sikap militan tokoh Kejora nampak kelihatan:

.... Tetapi salah dalam sudut pandangku. Aku merasa, diriku mengalir sebagaimana takdir yang diperuntukkan bagiku. Sebagai perempuan, demikianlah kehadiranku. Merdeka. Mencoba beradaptasi dengan sopan santun dan bergerak sebagaimana makhluk-makhluk lain bergerak. Jika laki-laki pandai menipu, perempuan tak kalah lihainya dalam hal menipu. Jika laki-laki senang berburu, tidak ada salahnya perempuan menyenangi hal yang sama.”
...
...bahwa perempuan tidak bisa dibohongi dan bukan obyek kebohongan. Menipu perempuan adalah sama dengan menipu diri sendiri. Sekaligus menipu dunia.
" (GJ halm.9-10)

Atau pada bagian lain:

“Jika misalnya Zakky poligami, apa reaksi Kak Jora,” tanya Najwa.
“Aku akan poliandri, pakai cara-cara yang legal.”
“Seperti apa?”
“Pertama aku akan mengkhulu’nya. Lalu menikah lagi dengan bintang film yang gantengnya melebihi Zakky. Poliandri atau tidak, yang penting rasa adilnya. Sama-sama dua.”
(GJ hlm. 151)

Nampak militansi tokoh Kejora menjadi suatu yang galak terhadap budaya patriarki yang melingkunginya. Kejora menuntut keadilan gender. Apalagi ia harus dihadapkan pada kemunafikan yang diperlihatkan oleh tokoh opposannya, yaitu Zakky. Tokoh Zakky ini mengalami simbolisasi sebagai pendukung patriarki yang punya tendensi seksualitas: perempuan hanya pemuas hasrat petualangannya sebagai lelaki. Kejora menemukan sikap ketidakseimbangan dalam diri Zakky, yaitu antara intelektualitas-religius dan libido-seksualnya. Kejora tidak mau begitu saja menyerah pada kemunafikan Zakky. Dalam pandangan Kejora ideologi patriarki penuh kepalsuan. Kecenderunannya ada pada tendensi libido-seksual laki-laki.

Sesungguhnya alasan biografislah yang mendorong Kejora mengobarkan militansinya. Kebenciannya terhadap tokoh Nenek, pelecehan yang dilakukan pamannya, tabu-tabu di lingkungan domestik, hingga praktek poligami yang dilakoni ayahnya. Tokoh Neneklah yang pertama kali membeberkan keganjilan tentang ideologi patriarki kepadanya. Tokoh Nenek punya kecenderungan Victorian ortodoks. Ia mau mengalah dan dikalahkan oleh dominasi patriarki. Sebagaimana statemennya yang dikutip Kejora:

...Bahwa perempuan harus mau mengalah. Jika perempuan tidak mau mengalah, dunia akan jungkir balik berantakan seperti pecahan kaca. Sebab tak ada laki-laki yang mau mengalah. Laki-laki selalu ingin menang dan menguasai kemenangan.
...
..., ia (Prahara –laki-laki) tetap rangking pertama di dunia kenyataan. Sebaliknya kau. Betapapun rangkingmu, kau adalah perempuan dan akan tetap perempuan.
(GJ hlm.61-62)

Kejora memang lahir dan tumbuh di dalam lingkungan patriarki yang kental. Namun ia tidak serta merta menganutnya. Apalagi setelah ia menemukan borok-borok kultur patriarki. Ia berpaut pada rasa kemerdekaannya sebagai manusia, tanpa batasan gender.

Dari situlah pengalaman berperan banyak. Pengalaman dalam novel ini merupakan pengalaman biografis. Kesadaran Kejora muncul sebagi kritik atas pengalaman-pengalaman itu, khususnya pengalaman yang berkaiatan dengan gender. Kesadaran itu mungkin muncul setelah terjadi kondesasi sebagai akibat represi kultur patriarki yang menyerangnya. Inilah sikap tanggap tersebut. Kejora menjadi opposan-militan terhadap ideologi patriarki.

Guna mendukung konsepsi tersebut, ada pula dala novel yang bersudut pandang orang pertama ini, ditempatkan tokoh-tokoh perempuan dari dunia Arab, muali dari Rabiah, Fatima Mersinni, Nawal el-Sadawi, hingga Benazir Bhutto. Perempuan-perempuan tersebut tidak tenggelam eksistensinya ditengah kebudayaan patriarki dunia Arab yang sangat kuat. Bahkan di sini pula ada pembandingan antara kebudayaan Arab dan Yahudi dalam hal perlakuan kedua kebudayaan tersebut terhadap perempuan. Kebudayaan Yahudi memang banyak melahirkan perempuan-perempua tangguh semacam Golda Meir hingga Medelaine Albright. Karena dalam kebudayaan Yahudi ini, meskipun segala peran sosial dipegang kaum laki-laki, namundominasi perempuan tidak dapat dielakkan. Meski terkadang ada “kebiadaban” tersendiri dalam kebudayaan Yahudi yang menyangkut gender. Selain itu juga dalam novel ini sering ditempatkan perempuan-perempuan yang berkeliaran bebas di ranah publik. Mereka tidak terbatas hanya pada ruang domestik. Mereka punyakesadaran intelektual dan kehidupan yang lebih sejajar dengan laki-laki.

Namun dari semua itu, terasa ada yang mengantung. Apakah semua konsepsi pemikiran, manifestasi pemikiran, hingga pengalaman-pengalaman yang dialami Kejora itu adalah wakil dari tokoh pengarang novel ini (Abidah)? Sebab, berdasarkan biografi pengarang yang terlampir di dua halaman terakhir novel ini dan juga dari beberapa sumber, menunjukkan ada kesesuaian. Latar belakang pengarang sering muncul dalam novel ini. Kemiripan sosok Abidah dengan tokoh Kejora yang sama-sama mengalami kungkungan tembok feodal, juga kehidupan pesantren putri, hingg kota-kota di Timur Tengah. Apakah kendensasi dan peledakan itu benar-benar terjadi hingga lahir novel opposan-patriarki, novel penuntut keadilan gender ini? Setidaknya harus disesuaikan dengan fiksionalitasnya karya sastra juga. Dan karya sastra tidak akan lahir dali kekosongan pengalaman, terutama pengalaman pngarang itu sendiri. Maka studi biografis pengarang perlu juga dilakukan, apakah karya sastra yang dihasilkan merupakan transformasi dari pengalaman pengarang dengan balutan konvensi sastra, meski pengarang juga punya ruang privat yang sulit ditembus publik. Terlepas dari anggapan “otonomi-teks” dan “pengarang telah mati,” pengarang merupakan produsen karya sastra. Pandangan dunia serta pengalaman-pengalamannya biasa termuat dalam karya sastra.

Senin, 28 Juni 2010

Ode Bagi Tidur, 3

wajah yang terlipat bak secarik surat,
dalam amplop persegi, terasing sendiri:
tak pernah diposkan.

mungkin senja nanti datang s’orang lelaki
mengirim boks bayi, reranjang besi, juga peti mati
yang kupesan malam tadi. kupesan semua
atas nama rindu dan tidurku.

ini masih maret, masih seperempat lintasan,
belum lengkap para abdi menyusun laporan tahunan
kepada atasan. tapi, batuk sebungkah
terlalu lekas mencuat dari rabu yang lelah.

cintaku lepas dan berdarah. sementara di luar,
orang-orang hingar memuji panji warna-warni
jahitan tangan sendiri. pun matahari lesu,
menggantung sepatu di dahan layu si pohon jambu.

ah, bila senja menjemput tidurku, sayang?
wajah dan pelupukku kian sarat kerut lipat.
dan laju waktu yang mampat tersumbat
diam-diam mencoret semua alamat yang tercatat...


2009



(Abimardha Kurniawan)

Ode Bagi Tidur, 2

hanya dongeng kamar persegi, berdinding putih sunyi,
dengan katup pintu kayu jati yang terkunci,
adalah gambaran istirah bagi malam yang lengah dan lelah.
kusulut sumbu mimpi, seperti menyalakan ketaklukan
s’orang nelayan yang pulang tanpa tangkapan.

kemarau padam dalam tidur, sayangku.
selagi ada segenggam mungkin,
mata air ‘kan mencari celah yang lain.
belik dan perigi kembali berisi esok hari.
gerimis jadi kalis, membiakkan diri,
lalu lahirkan teduh bagi benih yang mau tumbuh.

sayangku, dengan senyum bijakmu,
tuang tubuh malamku ke dongeng kamar persegi,
pahat namaku ke dinding putih sunyi,
kunci kembali si katup pintu kayu jati,
dan kecuplah satu nyala mimpi
sebelum kau melayang pergi...


2009



(Abimardha Kurniawan)

Ode Bagi Tidur, 1

untuk sebentuk kantuk
yang lama mengetuk syaraf dan pelupuk,
aku hanya menunggu bersua tidur paling sempurna
dan riuh gaduh orang jauh di seberang sana
menggurat sebuah tanda belasungkawa
dengan air mata yang jatuh tiba-tiba...


2009



(Abimardha Kurniawan)

Minggu, 13 Juni 2010

Pelajaran Burung Gagak

ada gelak kepak dan suara melambang
seperti angin yang gegas 'tuk pulang kandang


Surabaya, 2006



(Abimardha Kurniawan)

Selimut

orang-orang terlalu yakin dirinya bisa terbang, padahal dalam diriku sendiri yakin mereka tak bakal terbag. oleh karena angin jenis apapun, dari penjuru manapun, begitu benci orang-orang itu. semua itu tersebab orang-orang itu bebal, berkepala batu. jika bangun pagi-pagi, mereka lantas pergi ke kamar mandi, entah mandi, mencari mati, atau membungkus kembali sisa roti kemarin pagi, dan membiarkan seliut mereka teronggok, kumal tak karuan di atas ranjang lumutan. bodoh! bodoh! bodoh! padahal selmut itu mampu membawa mereka terbang. selimut itu mampu menyatukan cinta orang-orang itu dengan selubung udara. lantas tubuh orang-orang itu ringan dijunjung angin dan mengawangdi angkasa mahaleluasa. hmmm... mengherankan, mengapa di zaman serba akhir ini, orang-orang tega mengacuhkan selimutnya. dan konon setiap malam, tetanggga samping rumah orang-orang ituselalu mendengar suara seperti teriakan korban perang abad duapuluhan: “aku selimut, aku bosan hinggap di tubuh busuk orang ini! tolong... ”


Surabaya, 2006



(Abimardha Kurniawan)

Magnum Opus

saban malam aku terlambat pulang. mengapa bisa begitu. tanya saja burung hantu yang ngorok di pojok kamar itu! huh... maksudmu galileo? atau mungkin plato? Atau semangkuk nonsens yang morat-marit di lantai bersama saus, keripik usus, dan gema ultrasonik yang dipecah kelelawar penunggu lumbung saat paceklik. o, mungkin saja itu sebuah piknik dari siang bolong hingga tenagh malam yang mlompong. coba katakan “sepi” sampai tiga kali. sepi. sepi. sepi? apa kau juga mengerti? aku belum menerti sebelum tubuhu tertusuk gerutu televisi. apa kau paham umpatan pemabuk yang diam-diam kehalaman rumahmu lalu menginjak-injak rumput setiap malam? aku bukan sokrates, bukan aristoteles. aku bukan gemetar bintang yang bimbang, atau nelayan gasang yang pulang tapi di tengah gelombang terbunuh ceracau camar yang riang. ah, mungkin kau tuhan? bukan. pejalan? bukan. batu-batu berserakan? bukan. lantas siapa yang kau peram dalam mimpimu semalam. dia dan aku bukan siapa-siapa, kau tahu itu, bukan siapa-siapa. apa aku harus bertanya pada gadis berkerudung yang membaca peta di lantai pertama. o, dia yang selalu bertanya apakah hidup ini hanya sulapan saja. ya, persis yang kau ucakan. persis? seperti bunyi kulkas mengerang dan mendesis? seperti bau kaus kaki yang kau lempar, lalu kau sulut bensin? api maksudmu? kau selalu saja menduga apilah yang bersalah, sejak dulu, sejak wujudmu meninggalkan rumah. oh, rumah yang ramah. tapi ini semacam ramalan, atau lebih tepat dongengan. tentang tuhan atau senja yang mengenang kuyup rumput saat hari hujan. ah, semua manusia jadi peziarah ternyata. aku masih payah dan terengah; menampar wajah sendiri sebab bayang-bayang penghuni kaca menatapku lalu tertawa. kaca? kaca yang kemarin pecah dan raib di lambung sejarah? begitulah.


Surabaya, 2006



(Abimardha Kurniawan)

mengapa aku tiba-tiba merasa benci bila kutuliskan judul untuk puisi yang tak puisi ini?

tak urung kau buka juga jendela kamarmu. ada sesuatu yang menunggumu. sesuatu yang kau enggan menyebutnya dalam jaga, tidur, bahkan hanya dalam angan. kau takut? kau takut bila suatu saat dia memilihmu menjadi kekasih? dia sungguh mengharapkan kehadiranmu, seperti seorang bocah menunggu uang jajan dari sang ibu. entah sejak kapan cintanya tertanam selalu untukmu. dia tetaplah dia. dia adalah sesuatu yang menunggumu dari balik jendela. tapi kau enggan menyebutnya. mungkin ia merindu-dendam ingin menemuimu dalam sebuah kencan pas-pasan di bawah purnama bulan, di atas bangku taman, dalam sebuah kesempatan yang akan dia simpan di bilik kenangan. mengapa kau sungguh membencinya? mengapa hatimu gusar bila kusebut namanya? apa dia telah mengganggumu di setiap ruang dan waktu? ya, apa sebabnya kau sungguh membenci MAUT itu....


Surabaya, 23 Juli 2009



(Abimardha Kurniawan)

Kamis, 27 Mei 2010

Apakah Sama Rinduku dan Rindumu

apakah sama rinduku dan rindumu
tatkala dian meredup
kamar beranjak samar
juga dinihari mendekati suluh pagi?

apakah menyatu derit rinduku dalam pintu rindumu
tatkala kau ingin beranjak merentang jarak
meski tiada sirna seluruh jejak
yang tak sengaja kau gurat pada lentai retak
— setapak demi setapak?

apakah sama rinduku dan rindumu
tatkala tiada singgah kereta di stasiun kota
— meski sementara,
sebab sunyi tak memberi kesempatan
untuk kita, sekedar lambaikan tangan


2007



(Abimardha Kurniawan)

Halaman Belakang Rumah

di bawah asuhan musim dan waktu
bunga-bunga mungil menguning

hijau semu daun-daun luruh kembali
menyatu ke pelukan resah warna tanah

tapi, bilakah hujan lewat di situ?

betapa lembut angin memainkan butir cahaya
seperti pantulan bulan pada cermin air

dan kerak lumut masih tegar menyandar setia
ke dinding bata yang rapuh dan menua

memang, semua bisa berlalu tanpa kata
menguap sedemikian rupa

namun bukan bagi sepetak halaman
yang sunyinya menyentuh dasar ingatan


2007



(Abimardha Kurniawan)

Kubangan

ada kubangan tertimbun pasir
kau menatapnya dengan was-was
dengan hujan selintas
dari mata — dan menetas
menitahkan basah ke pori-pori tanah

seakan dulu pernah tanggal helaian waktu
dan kau tinggalkan di ceruk kubangan itu
sampai membatu

kau pun merentang jejak berlari lagi menari-nari
kau sunggi usang kesilaman tak berjejak
— setelah kau retas, kau tisik kembali
serentang jalan setapak

dalam bayang-bayang gerimis
kau tatap kubangan penampung air
bayang-bayangmu mengalir
di antara bayang-bayang gerimis
cahaya tersamar, berangsur ke wujud pudar

dan masih kau tatap kubangan itu
kemudian hujan menderas dari sudut matamu...


2006



(Abimardha Kurniawan)

Januari

/1./

sejumput ketukan di sisi langit memejamkan matahari
januari membuka gaun, segera kita lari
memungut gugur daun.

“rambutmu basah oleh desember.
tak puaskah engkau larut jadi serpih
yang berayun di ranting masa lalu?”

namun, bukankah kita selalu terjaga dalam bahasa
atau riuh mengembara: serupa suara,
serupa barisan hujan yang luruh satu persatu di kaca jendela.

“dan kita mengenangnya?”

entahlah.

tapi kita tetap bertutur
meski gelap membayangi bahasa yang kita sapa.
kita tuang saja ke dalam gelas aksara
atau kekosongan kata.

“duh, sungguh jauh madahmu itu
seakan tiada kesungguhan dalam ucapan,
tiada kepastian mengalir hingga ujung bulan.
bukankah penantian adalah ihwal kekosongan
yang lama kita impikan
yang sama kita lagukan?”

entahlah...


/2./

coba mainkan musik. genapi nada yang belum terbaca.
jangan kau biarkan malam merusak taman
taman yang kau buat di rongga dada,
di tengah istana cuaca, atau di setiap pagar beranda.

tidakkah kau temukan apa yang membuat kita terbata berkata
serupa boneka. mungkin saja sebentuk penaggalan kita susun
tanpa alur, hanya kecemasan yang coba kita kuburkan
di liang masa depan.

“muskil! sungguh muskil sebuah cemas kau kemas
di lenguh tubuh hampir lemas!”

ah, entahlah.


/3./

maka kudaraskan puisi ini jauh di garis dinding
yang patah menjelma cakrawala — sebuah tiada,
sebuah jengah yang terus merambati ruang tersisa.

tapi, bukalah pintu. biarkan udara segar melayap ke rongga badanmu
lalu membangun sepetak ruang baru di jantungmu. mulailah,
bergegaslah berlari sepanjang pematang yang nampak lengang.
meski semenjak dulu kau pun tahu

tiada arah untuk langkahmu di situ...


2007



(Abimardha Kurniawan)

Serenada Ulang Tahun

—Iza Zuniawan

/1./

berucap dalam tahun-tahun berdebu
lirih sendumu mengemas doa burung gereja.

waktu pun berbisik
usia tak seungu mendung bulan juni
atau arakan awan yang berjalan
mewariskan hujan demi hujan
di sudut darat dan lautan

maka demi apa pun yang berlalu
kueja jua nama yang kau puja
— huruf demi huruf,
kata demi kata


/2./

pagi ini, kudengar bisik angin
yang meliuk di sela ranting
tiada henti dan selalu
mendoakan keselamatanmu

aku mengerti
ini pagi keempatbelas yang melintas
sepanjang sunyi bulan juni


2007



(Abmardha Kurniawan)

Dif...

ketakjuban mimpi pada kibaran halus kerudungmu
layaknya bunga-bunga ceri mempercayai pagi
yang memaksa gairah bumi
jadi semerah pipi musim semi


2006



(Abimardha Kurniawan)

Matahari di Balik Jendela

inikah kesunyian itu
— kelambu yang terus tertutup
dan kian menghalang pandang?

aku berbaring dan lelap tertidur
di antara dua dunia
di antara ada dan tiada,
seperti matahari...

arah mata yang lepas
menjelma burung bersayap hancur
terbang meniti lidi cahaya,
menembus kerap kasa kelambu,
menuju matahari
yang berkubang di kawah luka.


ya, akulah bocah yang selalu tidur
sambil menggambar butir airmata
milik matahari, di atas kumal kertas
yang kupungut dari sungai mimpi


2007



(Abimardha Kurniawan)

Rabu, 21 April 2010

Surat-surat Sunyi

H.H.


mengapa tak terkabar
perasaan ingin menyentuh bulan
hanya tersimpan di sela catatan:
bersama aksara, kabut, hijab perantara
bahkan suara tanpa rupa
— tanpa suara

mengapa harus diam ditabal
dalam tanda yang fana
ketika hening menyusut
api perasaan tersulut di sudut
berpagut selingkung sunyi
pada serpih hati yang bernyanyi
dan bernyanyi

juga mengapa terlipat surat demi surat
dan tersimpan di sela halaman buku catat
seperti tanpa alamat, seperti tak bertuju
lalu berdebu, tersamar tawa hantu

duh diammu itu
— diam tak berungkap itu...


Yogyakarta, Juni 2007



(Abimardha Kurniawan)

Imogiri

keheningan puncak
dan ratusan anak tangga
menghiba ke angkasa

takdir ranggasan daun
rebah di bawah kumparan doa.
di atas pusara tua
pun sunyi meregang nama demi nama

ya salam, ya salam

senja pun undur mengubur bukit,
suara asing dari gumam peziarah,
juru kunci, juga para abdi dari dua negeri
bersila sembari merapal doa.

sementara angin laut selatan
membujuk daun memanggul debu,
merindu puing
yang ditahbiskan lindu dan waktu

kuikuti alun senja
tubuh-tubuh yang lunas meregang nyawa
berbisik, bersuara
di sela dengung serangga
simponi mistik, aroma dupa, duka
dan kidung doa-doa
yang gegas bertakzim
menutup pintu paduraksa

ya salam, ya salam

berkawan sawan kemenyan peradaban
sunan-sultan menjaga di bukit selatan


Yogyakarta, Juni 2007



(Abimardha Kurniawan)

Kauman: Elegi Penginapan

selebihnya, hanya harapan bertemu burung-burung
yang singgah ke bangsal mimpiku semalam
meski kini, di benak tersisa harap
menemu kerlingmu lagi, duh engkau yang pergi
bersama pagi dan bisik kawan berpamitan
yang menguar, berserak di halaman penginapan:

“doakan, semoga doa tak kehilangan bulan
sebelum perjalanan memanjang dalam kiasan
doakan, atas seluruh nasib
berujung di pantai keselamatan”

maka, sore ini, tubuh kembali sunyi
mengenang kerlingmu
yang terbang
meninggi
menjadi burung dalam taksiran hari
bukan di bangsal mimpi


Yogyakarta, Juni 2007



(Abimardha Kurniawan)

Di antara Pagelaran Dangdut Alun-alun Utara Yogyakarta

aku menyapa keramaian
keramaian menyapaku

kami berteguran, berbincang
tentang suatu yang semu

entah nantinya siapa
— di antara kami berdua —
yang menangis
atau tersedu lebih dulu


Yogyakarta, Juni 2007



(Abimardha Kurniawan)

Sajak Kertas Timah

kertas timah pembungkus rokokmu
penanda suatu yang lucu

mungkin ia ingin menjaga
dari sembab-lembab yang ada
mungkin sekedar menjaga rasa
agar tak pergi, sebelum kau berulah
mencecap gurih asap tembakaunya

tapi, kutulis sajak jua
pada kertas timah pembungkus rokokmu
sekedar menandai suatu yang lucu, yaitu
ketika gurih asap itu
bersiap terlepas jauh dari lidahmu


Jakarta, Juni 2008



(Abimardha Kurniawan)

Di Depan Embassy of the Republic of Hungary

andai saat ini tuhan yang kuyakini baik hati menghadiahkan untukku
sepasang sayap kertas milik malaikat pengawalnya,
aku lantas bergegas terbang menuju kota bijana tanpa lagi menoleh
pada lilin kesabaranku yang saleh, yang diam-diam luluh, dan meleleh


Jakarta, Juni 2008



(Abimardha Kurniawan)

Di Denyut Larut Alun-alun Utara Yogyakarta

di denyut larut alun-alun utara yogyakarta
malam mengigau hampa — seakan tanpa suara
lalu sendu, membujuk bulan melempar tinju
beradu semu kemuning cahaya lampu


Yogyakarta, 16 Mei 2008



(Abimardha Kurniawan)

Malam Resepsionis

kamar tanpa lampu memang bukan untukmu
meski di dalamnya ada televisi, kran tak mati,
ranjang lapang-bantal-guling, hangat selimut,
cermin pematut, meja-kursi, tata ruang nan rapi,
kipas angin, handuk dan sabun mandi pengusir daki,
juga segala fasilitas yang kau hendaki

itulah konsekuensi yang musti terpatri
setelah kau lunasi transaksi administrasi
dan kuserahkan sebilah mata kunci

aku tahu, kamar tanpa lampu membuat kau bisu
kehilangan arti, apalagi kau sering menulis puisi
dan tak henti menatap cermin
— menguliti bayangan sendiri
sampai pagi, sampai mati


Blitar, 2 November 2008



(Abimardha Kurniawan)

Tiada Terlintas Hujan Untukku Malam Ini

tiada terlintas hujan untukku malam ini
sedang aku ingin menikmati seru suara lagunya
riuh menggema
menyentuh relung tak berjiwa

seandainya kau datang
mengetuk pintu malam-malamku
mungkin akan kudengar seperti hujan
memainkan sepenggal komposisi
tentang sepucuk rosmari mati di taman sunyi

singgahlah kau malam ini
layaknya rindu tengah berduri menjelma di sini
kunanti hujan yang (mungkin) tak kembali


2008



(Abimardha Kurniawan)

Sematkan Sepucuk Tangismu

sematkan sepucuk tangismu di antara lembayung
langit sore, di antara tajam surya warna tembaga
antara kubah awan yang rapuh
menggayuti tinggi lazuardi.

bila memang harus tangis yang (mesti) terurai,
uraikan ia, bahasakan ke seluruh penjuru
ucapkan bersama angin
yang tiba dan berkelana
yang menyapa setiap sunyi manusia

sematkan sepucuk tangismu
sematkan di sela daun, kuncup
di sela ranting yang merindu bayu
di sela hutan, di taman-taman keheningan

sematkan sepucuk tangismu
serukan ke arah langit
agar langit membacanya
serukan ke lubuk bumi
agar bumi setia memeramnya

mungkin dalam tangismu,
tersimpan tangis semesta:
tangis sederhana
yang jatuh berduka
meski tanpa airmata.


2008



(Abimardha Kurniawan)

Rengsa Hujan

/1./

dan aku tandai detik-detik kejatuhan ini
sebagai hujan dini hari

esok, temukan tanda kehancuran yang sarat
memadat di cekung mataku
dan mungkin hidup akan jadi sebentuk kiasan
yang enggan didendangkan hujan

di luar kamar
kudengar orkes hujan menabuh udara pagi
butiran basah yang luruh melumuri tanah
kelak kusampaikan sebagai hadiah
bagi bumi
yang mengigau
oleh desau dan risau angin kemarau


/2./

dalam perjalanan tanpa isyarat
kurindu engkau datang membangun tahun kenangan
laiknya kematian yang disempurnakan hujan
segala simpang yang kupandang
hanya berdiang mendekap lengang

bila coba kubaca
ke laut mana setapak ini berakhir
—tiada nafas yang bergegas, amukan buas
badai musim panas, atau sayap angin
yang menuntun ranting getas beranjak lepas

tapi ini perjalanan hampa
dengan arah mimpi
serta bubuk kenangan yang menguap sia-sia


2007



(Abimardha Kurniawan)

Trawas, 2

jajaran cahaya jingga pada tanjakan jalan
seperti tangga cahaya melepas doa
ke pucuk bukit hingga ke altar langit
sambil lagukan madah, meniru api lilin
dalam dekap tangan peziarah

jika kabut pun turun mengunyah kampung
dan tegalan, aku ingin bertasbih
sambil memetik pelajaran
dari basah yang diusapkan ke rambut malam
sebelum kukibarkan ingatan lepas ke jantung bulan
— menjaga cahaya yang jatuh
menyentuh punggung dedaunan

maka sempurnalah segala
— malam memandikan rinduku
dengan sunyi dan dzikir penuh lagu


2007



(Abimardha Kurniawan)

Trawas, 1

malam memencil di sudut mei. hawa
menggigilkan bulan. keremangan unggas
yang melintas, bahkan bumbung capung
tiada berhinggap
selepas bukit dan pohonan dibekap lindap

kunikmati nafas air, embun beludru
dan kata-kata berdiri
di tengah sunyi dan batu-batu

sungguh, betapa megah senja berlagu
sisik awan luruh menggerimis
dengan bunyi ritmis nan sakit
cuaca pun merabun — lalu bangkit
— dibungkus kabut dari selatan bukit

kunikmati sunyi kabut ini, setelah cahaya
dan rumputan tiarap di bawah gelap
yang sempurna


2007



(Abimardha Kurniawan)

Ungu Umu

ada gumam cuaca
gegas menimpa pucuk cemara.
ada desir tak terpahami, di sini
siapa pun berjalan, membawa nyawa
atau sekedar menjala suara
dari jejak hampa dan gerak udara

di sendu matamu, umu
bulan getas melintas, trawas mengeras
dihantui nyanyi serangga musim panas.
semua menjelma ruang
dimana nafas mengenal sepintas
riwayat garis batas

jauh di luar vila, lampu-lampu menyala
walau kabut enggan melikat,
gerimis tersumbat gigil yang pekat.
bersama ungu senyummu, cuaca merabun,
lalu turun, berjajar, dan terlantar
di selasar pagar pudar membelukar

namun, demi gumam lanskap cuaca
siapa pun terasa cela ‘tuk datang mencinta
setelah udara sesak cerita
tentang bunga angsana dan duri akasia
yang kau simpan di selubung jiwa


2007



(Abimardha Kurniawan)

Minggu, 11 April 2010

Wordless

tiga detak doa
mengantar bebeurung renta
pulang ke sangkar sorga


Surabaya, 7 Juni 2009



(Abimardha Kurniawan)

Di Sore Secerah Ini

di sore secerah ini
kau sendirian berkawan hujan

tiada satu kemalangan pun menimpamu
meski kau pagari keranda rindumu
dengan airmata yang terlanjur beku


Surabaya, 3 Juni 2009



(Abimardha Kurniawan)

Selasa, 06 April 2010

Masih Tentang Hujan

yang melebat dalam senyummu
hanyalah waktu, juga rericik tak terdengar
dari belantara jauh


Surabaya, 2009



(Abimardha Kurniawan)

Senin, 05 April 2010

Untitled, 7

hallo tuan foucault
ini ada sejarah sedang berulah
: mohon lekas datang kemari
ke rumah penghuni biadab ini
mari, mari, mari...

(diam-diam, kau hapus judul puisi ini
dan kau beri satu tanda sunyi
yang aku pun tak tahu
di mana ada tanda itu)


Surabaya, 23 April 2009, 08:05



(Abimardha Kurniawan)

Minggu, 04 April 2010

Untitled, 6

sebentar saja, renyah cerita ringanmu memisahkan daun dari hujan
teh dalam gelas yang cuil bibirnya, terlalu lama bungkam
:mengasingkan diri dari catatan suhu yang hangat
ah, andai saja alkohol merah termometermu mampu meraba
demamnya

tapi, tiba giliranku menunggu kini di warung kaki lima langgananku
tanpa kretek sigaret, buku catatan, pensil kayu yang ujungnya rapuh
oleh gigitanmu. apa musti kuberi judul puisi ini biar tak terbakar sunyi?
atau judul-judul itu malah menggunduli sunyiku sendiri?

ah, barangkali kau temu jawabnya
sehabis tuntas kau baca puisi tanpa judul ini...


Surabaya, 22 April 2009



(Abimardha Kurniawan)

Sabtu, 03 April 2010

Untitled, 5

ini kamar lunas kumiliki sendiri
aneh tapi, rasa-rasanya, aku
hanya seorang pelancong kosong


Surabaya, 20 April 2009



(Abimardha Kurniawan)

Kamis, 01 April 2010

Untitled, 4

namun, sebelum meranum gurat tirus di tepi senyummu,
akan kuceritakan tentang minibus yang diparkir sendirian
di seberang jalan

bukankah itu kesunyian juga, naila?


Surabaya, 19 April 2009



(Abimardha Kurniawan)

Rabu, 31 Maret 2010

Untitled, 3

hallo, naila,
mohon jangan lekas kau suguhkan sepasang tingkap di bawah alismu
kepada pejam dan hawa malam yang mahir menyihir halimun abu.


Surabaya,19 April 2009



(Abimardha Kurniawan)

Selasa, 30 Maret 2010

Untitled, 2

untunglah, hampir habis tandas segala tanda untuk menandaimu.
yang tertinggal hanya satu, yaitu segulung kering daun kusam yang

masih sempat
bergayut menunggu larut menjatuhkan ke hening alir selokan



Surabaya, 19 April 2009



(Abimardha Kurniawan)

Senin, 29 Maret 2010

Untitled, 1

hari dan satu malamnya yang aneh
bergeming: meminang ngiau pejantan kucing...


Surabaya, 19 April 2009



(Abimardha Kurniawan)

Sabtu, 27 Maret 2010

Kamar Kiriman, 1

andai yang padam malam ini dering rinduku
tak kujemput ketukanmu di hulu segala pintu.
ayahku telah membuat perahu, meyihir ruang tamu
jadi ruang tunggu dan laut tanpa warna biru.
pada dua tempat itu, menunggu ibuku
menanggung wajah sepah, selelah minyak berjelantah

tak ada yang bisa kupanggil adik
kecuali sebaris lirik dan enam bingkai potret diam
bergambar balita dengan mata digayuti malam yang curam.
semua berangkat menua, seakan semua perlu
menuju kecup di bibir para debu

tapi, mataku menyigi pasti
kuhunus seratus endus, dan aku berlayar
mengumbar dengar yang tak berpagar
aku pun memburu wujud masa lalu
:tempat semua pangkal dan ujung saling berhubung
berpelukan, di hadapan dian dan sampiran

barangkali nanti, setelah kutemukan semua itu
ayah, pulangkan ke tepian perahu buatanmu
lambaian ibu masih menunggu
seperti pembangkang yang tak lekang
memukul lengang dengan parang dan adegan perang


Surabaya, 9 April 2009



(Abimardha Kurniawan)

Kesempurnaan

bila kau pun rindukan kesempurnaan,
datanglah ke negeri terjauh
yang tak pernah terwarta bahasa dan suara manusia


Surabaya, 2008



(Abimardha Kurniawan)

Kau Bujuk Hujan

kau bujuk hujan
bergumam di siang hari,
kau biarkan ia
berkisah tentang dingin dini hari

(segera kugamit payung
kulawan hujan yang terus mengurung)

mungkin sengaja kau cipta langgam di situ
–di hujan itu–
agar aku turun menyapamu
meminangmu,
lalu kau minta aku
meniupkan jeda waktu
ke sunyi bilik rahimmu


Surabaya, 2006



(Abimardha Kurniawan)

Rabu, 17 Maret 2010

Kuburan

selepas senja nanti, kita pun berhuni di sini
di liang tertimbun semak dan rengsa ini

dengan jisim dan ampas nafas
kita sandang aksara nama, barisan kata
juga angka demi angka yang kita
tiada pernah benar-benar mewariskannya


KA Sancaka, Agustus 2007



(Abimardha Kurniawan)


Jumat, 05 Maret 2010

Dispenser

dalam geming tubuhku,
air tak membiakkan gelembung

tapi kau kehausan, sayang
cuaca menyihir ranah datar di luar
jadi serpih kulit tembikar
yang pecah dan terlantar

tak ada yang memintaku untuk rindu
sebab tiada sentuhmu
meminta air dari lengang garbaku
: entah hangat, entah dingin separuh beku

dan akhirnya, hanya ada sunyi
membiakkan gelembung sendiri


Surabaya, 6 mei 2009, 13:35


(Abimardha Kurniawan)

Di Warnet

kau tak benar-benar membuka jendela ternyata,
masih ada yang kau rindu sampai bertalu:
kelepak burung-burung yang terbang ke lintas penjuru
sambil menggambar jelajah pada atlas terlipat itu

"ah, kau tak benar-benar membuka jendela, kawanku..."


Surabaya, 5 mei 2009, 13:34


(Abimardha Kurniawan)

Kamis, 04 Maret 2010

Enaknya Bikin Uap Batubara

tuhan, mohon cegah ibu-ibu hamba
menggusur gelambir lemak dukacita
dengan mandi uap di sauna neraka


Surabaya, 27 april 2009


(Abimardha Kurniawan)

Selasa, 02 Maret 2010

Setelah Dering Telepon, 4

ibu, jangan berangkat dulu
subuh jadi hampa tanpa sedu dan isakmu.

oleh karena itu, telah kubuat lubang di setiap perahu
biar si lanun gamang nan lancang
tak bisa membawa kau bertandang ke seberang


Surabaya, 12 April 2009


(Abmardha Kurniawan)



NB: puisi ini saya tulis di milis Apresiasi-Sastra dengan nama samaran Herdianto Azvalazie

Setelah Dering Telepon, 3

duhai bunda yang ada di surga
selepas subuh pun berlalu
coret namaku dari semua buku absenmu...


Surabaya, 12 April 2009,4:52


(Abimardha Kurniawan)



NB: puisi ini saya tulis di milis Apresiasi-Sastra dengan nama samaran Herdianto Azvalazie

Setelah Dering Telepon, 2

Alvhia


sementara yang tersisa
hanya jejak parfum kemarin senja
dan tisu lemas yang teremas di atas meja,
selebihnya hanya ada jam malam
dan seorang satpam
yang berjalan lumpuh di ambang subuh

"tuhan, biarkan malam dan sunyi
memukul tiang listrik satu kali..."



Surabaya, 12 April 2009, 4:20


(Abimardha Kurniawan)



NB: puisi ini saya tulis di milis Apresiasi-Sastra dengan nama samaran Herdianto Azvalazie

Setelah Dering Telepon, 1

bung, matikan rokokmu
angin tenggara terlalu ganas menggerutu
kasihan kucng-kucing itu
bila lelatu lepas dari rokokmu
dan membakar beranda dan gombal-kumalmu

bung, kasihan kucing-kucing itu
angin tenggara semakin kencang, bukan begitu?


Surabaya, 11 April 2009, 9:51


(Abimardha Kurniawan)



NB:
puisi ini saya tulis di milis Apresiasi-Sastra dengan nama samaran Herdianto Azvalazie

Stop Press

esok pagi buta aku tak akan ke gereja
tuhan telah digadaikan tanpa uang jaminan
sementara orang-orang masih menyimpan ingin
menyiram nyala api dengan angin dan dingin bensin


Surabaya, 11 April 2009


(Abimardha Kurniawan)



NB: puisi ini saya tulis di milis Apresiasi-Sastra dengan nama samaran Herdianto Azvalazie

Lagu Juragan Lapar

"o lala, lagu ini lagu lama
ketika pagar dibakar orang gila.
o lala, lagu ini siapa punya
ketika kata berkaca di sorga maya."

ada yang mengira tangan kanannya
sembunyi di saku dan gudang bawah tanah.
tapi kutemukan, ia telah terpenggal
dan terlantar di lapangan rumput
bersama jejak tertinggal dan daun-daun tanggal.

"apa kau mati, juragan?
apa hanya setumpuk lapar yang berkoar
setelah semalam para pengonar
membakar pagar dan gudang penimbun hartamu?"

kukira ia tak mengerti, sebab tak ada amnesti
dari radang dendam orang yang ditinggal mati
orang-orang berlalu saja. kelewang yang disandang
seakan lega melontar hajat ke nadi lehernya,
ke nyawanya, ke gudangnya, ke rumahnya,
ke istri-istri simpanannya.

"o lala, lagu saya lagu lama
juragan lapar ringkih di kubur sana
o lala, lagu tua lagu neraka
dendam bersekam api di rongga dada"


Surabaya, 11 April 2009, 9:21


(Abimardha Kurniawan)


NB: puisi ini saya tulis di milis Apresiasi-Sastra dengan nama samaran Herdianto Azvalazie

Hari Sabtu dan Serdadu Kalah

liang-liang sunyi buatan matahari seakan ruangan kosong
yang pernah dihuni hujan malam. seekor kucing runduk,
setia menyusui anak-anaknya. sepeda tua diparkir
di sisi mesin jahit tua,
seperti panorama manula penjaga makam di pinggir desa.

oh, hari sabtu pulang dalam lesu, seperti seradu yang kalah
dengan dada berliang hangus, berdarah.
pagi terluka parah.


Surabaya,11 April 2009, 08:53


(Abimardha Kurniawan)



NB: puisi ini saya tulis di milis Apresiasi-Sastra dengan nama samaran Herdianto Azvalazie

Kuatrin Setelah Mitha Bertanya Soal Nomor Ponselnya yang Pernah Hilang

mith, ini nomor ponselmu: 08175019xxx
mungkin iniah jalan tempat kata dialirkan
bukan cuma jajaran angka, tapi sungai
yang gelisah mencari muara serta makna lautnya


Surabaya, 13 Januari 2007


(Abimardha Kurniawan)

Post Scriptum, 2

ingin rasanya aku bertemu dan melukis seiris bulan bergincu
di ujung senyummu sebelum akhirnya aku jatuh cinta seutuhnya
pada hujan, malam, kesunyian angin, juga daun gugur


Surabaya, Juni 2007


(Abimardha Kurniawan)

Senin, 01 Maret 2010

Sajak tak Tersua

senja mengajariku arti perpisahan. di sudut beranda
matahari melepas gaun bercahaya. dalam satu kecupan saja
kata-kata lebur melabur warna merah, jingga
serta nila yang bersenyawa di luas udara. kulihat
dedaun runduk memanggul makna,
keberangkatan ini
merupa hangat yang berkhianat pada lembut cuaca

adakah serupa jelaga?
sayu tatapanmu menyimpan malam yang sempurna
namun dinginnya tiada sampai membangun sarang
sarang bagi jalan kesetiaan yang lebih panjang dan fana. kini

rumah batinku hidup dalam cekal bebayang
sembari masih kusimpan lanskap lukisan senja
—di mana kabut-kabut muda berkejaran
dengan gelap dan lindap yang berarak,
berduyun dan bersorai
menuju belahan lain dari waktu
yang membatu
di ceruk lesung pipimu

nurita, senja adalah lembar terakhir sekaligus pertama
yang musti kau baca dalam bahasa sederhana
aksara bertebaran seakan melepas muatan
harapan membisu ketika tak tersua sajak
dalam kilat remang senja di matamu

yang kuyakini, waktu tak pernah susut dan undur
meski gerak jenteranya sengaja kau kubur
dalam uzur mazmur, kerikil pasir
dalam timbun batu berlumut anyir

nurita, kabarkan senja yang lain
yang ada melebihi dingin


Surabaya, 2007


(Abimardha Kurniawan)

Lukisan Bulan Sabit

kalaupun purnama merupa di udara

masih terkenang bulan sabit

bersampan di cakrawala senja


siapa pun datang memanggul sampiran

setelah pulang, hanya terekam peristiwa, diam

menatap kenangan dalam lukisan


Surabaya, Mei 2007



(Abimardha Kurniawan)

Jiwa

jiwa adalah burung,

sedang raga sangkarnya.

ia bebas mengelana,

menuzulkan risalah debu

dan serbuk bunga ke hampa rabunya

sebagaimana ia percaya:

tiada dusta di luas angkasa


Surabaya, Maret 2007



(Abimardha Kurniawan)

Kuatrin Hujan

terbukanya gerbang langit adalah rinai jenuh butiran embun
siapa berjalan, siapa diam bila rerumput kalut lalu ngungun?
adakah ia menulis di air, di bawah desir, di punggung bumi yang tertakdir?
ah, hujan dalam diri serupa ihwal di jantung bumi: pergi dari sunyi, pergi untuk sunyi


Surabaya, 2006


(Abimardha Kurniawan)


Senin, 22 Februari 2010

Di Hadapan Ucap Selamat Jalan

di hadapan ucap selamat jalan
bunga rumput letih
tak menjanjikan warna
bahkan kepada pagi
yang kerap dikunjunginya

"subuh menguapkan ceritamu, kawan
tapi langit merendah kemudian
sekedar memberimu secawan teh dan kehangatan
kawan seperjalananmu
kembali menuju rahim ibu waktu

: ya, ibu yang selamanya kekal itu..."


Surabaya, 5 april 2009, 14:31


(Abimardha Kurniawan)

Resistensi: Medan Penafsiran Teks Intersubjektif

Pada tataran tertentu, resistensi bisa dilihat dari dua sisi yang saling berhadapan, yaitu dari sisi produsen dan konsumen teks. Dari sisi produsen teks, resistensi bisa melalui sebuah proses yang disengaja, dimodifikasi, guna terciptanya teks baru yang sifatnya melawan teks dominan.

Pada sisi ini, resistensi merupakan suatu hal yang betkaitan dengan ideologi produsen dalam menyikapi wacana dominan. Perlu digarisbawahi, teks dominan merupakan wacana dominan yang berhasil ditangkap produsen dan bisa mengimplikasikan resistensi.

Jadi, sesungguhnya terjadi keterbatasan frame untuk melihat realitas. Namun, karena yang menjadi objek resistensi begitu dominannya, sehingga dalam setiap ruang gerak pembacaan produsen (atau lebih tepatnya “calon produsen”) yang muncul hanya wacana yang itu-itu saja. Kejumudan pun terjadi. Maka resistensi dimunculkan.

Atau jika bersandar pada kaidah filsafat (yang mapan atau termapankan), calon produsen berusaha mengamati lebih jauh, bukan hanya realitas empirik yang nampak kebanyakan, tapi sampai menyentuh kausalitas yang komprehesif. Dominasi sebuah wacana pasti ada penyebab historisnya.

Entah, penyebab itu berada pada diri si penganut wacana dominan, atau si penggerak yang membuat suatu wacana terdominasikan, atau juga interpretasi pembaca. Ketaklengkapan pandangan terhadap hal-hal tersebut akan menimbulkan ketimpangan dan polemik berkepanjangan. Seperti ketika budaya pop disikapi oleh dua mazab yang berbeda, yaitu mazab Frankfurt yang memprioritaskan manipulasi makna dalam proses produksi budaya pop, yang mau tidak mau menyeret produsen budaya sebagai sentral kajian.

Sedang “kaum multidimensional”, Cultural Studies, juga melibatkan peran konsumen yang mereka anggap tidak semata-mata pasif, tetapi aktif dalam proses impor maka. Lantas, siapa yang harus dipersalahkan, hingga muncul suatu wacana dominan? Tentu, bagi kaum fenomenologis pasti akan diserahkan kepada fenomena yang terjadi, dan tergantung pada konteks-situasionalnya. Jika demikian, perlu penelusuran historis agen-agen yang terlibat dalam ekologi teks.

Begitu pula, pada sisi resistensi (dalam hal ini “resistensi” berada pada wujud anggapan atau interpretasi terhadap teks yang dianggap melawan) pembaca teks. Selain tegantung pada muatan teks, para pembaca teks-teks produk kaum resist perlu dicermati secara historis. Hal ini terkait dengan justifikasi yang mereka jatuhkan terhadap sebuah teks hingga teks itu punya label “melawan”.

Dan itu punya latar belakang yang membuat proses interpretasi menjadi tidak bersih. Aplikasi teori kerap menjadi titik singgungnya. Teori-teori dan ideologi-ideologi “impor” yang “meracuni” dan membentuk frame pemikiran pembaca tentu tidak bisa diabaikan, di samping latar akademis, usia, dan posisi sosial pembaca. Sehingga, pelegitimasian itu terkesan teoritis dan ideologis.

Atau dengan kemungkinan lain, pembaca melakukan proses pembacaan dan interpretasi, yang ia akui sebagai independensi cara berpikirnya. Tapi dalam proses pembacaan dan interpretasi yang lain, dengan subyek lain yang menanggapi teks atau wacana baru hasil justifikasi tersebut, bisa ditemukan sebuah bentuk adopsi terhadap teori tertentu. Apakah ini merupakan sebuah titik temu, atau malah berlanjut dengan egoisme sepihak, atau juga “dicap” tidak luas dan luwes membaca sejarah? Entahlah.

Hal tu pun bisa ditilik dari pembaca teks sub-altern (resisten) tersebut, juga sejarahnya. Nantinya, latar belakang akademis pembaca perlu dipermasalahkan, sebab hal ini (mau tidak mau) berpengaruh pada sikapnya. Yang jelas justifikasi itu terkadang merembes ke arah subyektifitas pembaca, dan obyektifitasnya (bisa) diragukan. Mungkin, sesuatu yang obyektif adalah sesuatu yang empirik dan bisa meyatukan konsep pembacaan intersubyektif secara heuristik, meski entah secara hermeneutik.


(Abimardha Kurniawan)

Klaim Prestasi Iklan Partai

Kampanye merupakan semacam seremoni open house bagi partai-partai peserta Pemilu 2009 yang lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan itu, visi misi partai bisa didengungkan kepada masyarakat luas. Segala bentuk persuasi dilancarkan guna merengkuh simpati publik. Stigma positif dalam benak publiklah yang kemudian ditempatkan sebagai conditio sine qua non, alias syarat mutlak. Entah apakah bentuk simpati itu layak secara kualitas atau hanya sebatas kuantitas.


Meski KPU menetapkan secara resmi bahwa kampanye Pemilu 2009 (dengan pengerahan massa) baru dilaksanakan pada bulan Maret, namun “obral” citra telah berlangsung beberapa bulan sebelumnya. Salah satu yang semarak adalah bermunculannya iklan partai. Retorika politik seakan leluasa diterapkan oleh partai kontestan melalui media tersebut.


Perang citra mulai ditabuh genderangnya. Ada yang menganggapnya “curi-curi start” kampanye. Ada pula menganggap hal itu wajar selama batas-batas tidak dilanggar. Selain itu, melihat kondisi yang ada, masa kampaye Pemilu 2009 tergolong yang terpanjang. Inilah keragaman opini sebagai “efek samping” pemunculan iklan partai.


Masa Lalu dan Masa Depan

Salah satu partai besar yang berhasil menngusung dan mendudukkan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pada puncak tampuk kepemimpinan dalam Pemilu 2004, mengutarakan klaim prestasi dalam iklan partainya. SBY yang menjadi figur sentral partai itu, dianggap telah memecahkan masalah ekonomi paling sensitif di negeri ini, yaitu harga bahan bakar minyak (BBM). SBY dianggap telah berhasil menurunkan harga BBM sebanyak tiga kali selama masa pemerintahannya. Itulah modal awal partai ini melancarkan persusasi.


Tapi, ada pertanyaan muncul, apakah itu benar-benar murni sebuah kebijakan domestik SBY? Bisa ya, bisa juga tidak. Jawaban “ya” karena melihat posisi SBY sebagai presiden negeri ini yang mempunyai kendali atas kebijakan-kebijakan domestik. Sementara jawaban “tidak”, berhubungan dengan isu dan kondisi fluktuasi perekonomian global.


Fluktuasi harga minyak dunia nampaknya menjadi kendaraan yang efektif. Sebagai penentu kebijakan tentunya hal itu menjadi pertimbangan penting, di samping motif-motif politik kebijakan tersebut pada akhirnya memicu munculnya kata “jangan-jangan” dari sejumlah pengamat. Jadi kalaupun SBY mengeluarkan kebijakan untuk menurunkan harga minyak, hal itu sudah seyogyanya dilakukan. Toh publik juga telah memperoleh akses yang mudah menyangkut fluktuasi harga minyak dunia.


Pada tanggal 24 Mei 2008, kenaikan harga BBM terjadi di negeri ini. Demonstrasi mahasiswa merebak untuk mengecam kebijakan tersebut. Muncul kekhawatiran publik hal itu akan memicu efek domino pada harga-harga kebutuhan pokok lain. Lantas, pemerintah “berdalih” dengan bertameng fluktuasi harga minyak dunia dan pengalihan (atau minimalisasi) subsidi BBM untuk pendidikan.


Itulah sebabnya salah satu survei membuktikan bahwa menaikkan harga BBM menjadi kebijakan Presiden SBY yang paling tidak memihak publik, alias tidak populis. Tentunya masih ada kebijakan-kebijakan di sektor lain yang juga kurang memuaskan publik. Pertanyaannya: apakah klaim-klaim prestasi masih perlu berlanjut, mengingat perekonomian global punya pengaruh besar pada kebijakan-kebijakan yang ada?


Klaim semacam itu tidak hanya dilancarkan partai yang dimotori SBY, ada partai lain dengan manuver serupa. Dengan mencitrakan anggota-anggota partainya yang duduk di parlemen, bahkan salah satunya menjadi ketua, partai tersebut melontarkan isu APBN yang menjadi wewenang legislatif. Apalagi dalam Pemilu 2004 partai ini muncul sebagai pemenang.


Ekskalasi prosentase jumlah anggaran pendidikan dan isu swasembada beras digembungkan menjadi wacana persuasif yang penting. Sekali lagi, pencapaian-pencapaian itu terjadi di masa lalu, disaat aparat partai itu masih aktif di lembaga formal kenegaraan (baca: DPR). Namun, apakah figur-figur merupakan yang (atau paling) representatif perannya dalam lembaga yang dimaksud? Bukankah lembaga publik semacam DPR bukan dikooptasi beberapa kepala saja, melainkan ada banyak kepala dari fraksi yang jamak? Atau bahkan, sudahkah aspirasi publik diakomodir secara komprehensif dan menjadi motor penggerak utama?


Jangan-jangan hanya sebagian saja atau dipilih prestasi-prestasi yang sekiranya punya efek nilai lebih bagi citra partai. Sementara masalah-masalah lainnya tak pernah disentuh, khususnya yang anggota partainya tidak punya prestasi di dalamnya. Selain itu, kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi apakah pernah ditengok untuk kemudian diwacanakan sebagai isu internal partai, bahkan publik?


Tidak sekedar mengambil dua contoh partai di atas, banyak pula partai yang coba mengekploitasi prestasi-prestasi “masa lalu” untuk kemudian diwacanakan sebagai stimulus publik. Isu-isu yang menyangkut kebutuhan vital masyarakat (seperti harga BBM, pendidikan, masalah pangan, dan kebutuhan pokok lainnya) masih dianggap sexy oleh partai-partai peserta Pemilu 2009. Jika suatu partai tidak punya prestasi yang riil pada isu-isu itu karena tidak memiliki anggota yang menjadi figur representatif dalam lembaga pemerintahan, maka yang menjadi amunisi adalah janji “masa depan” yang lebih baik. Sekali lagi, isu-isu vital yang menyangkut hajat hidup masyarakat tetap mengemuka.


Dengan klaim jasa dan prestasi, setidaknya, partai-partai akan terjebak dua kutub waktu, yaitu “masa lalu” dan “masa depan”. Menilik fungsinya, klaim jasa itu justru akan menjadi janji sebuah partai juga pada akhirnya. Dengan mewacanakan prestasi “masa lalu” ke hadapan publik, minimal prestasi itu musti terulang di “masa depan”. Di sini, antara “masa lalu” dan “masa depan” saling berjalin-kelindan dan bisa disebut sebagai konsekuensi logis.


Mengingat pemilu adalah suatu media, bukan tujuan, untuk mendudukkan seorang pemimpin bangsa dan wakil rakyat, klaim-klaim itu bisa menjadi bumerang bagi partai yang bersangkutan. Terutama jika prestasi-prestasi itu tidak terulang di periode selanjutnya saat anggota partai kembali menduduki jabatan-jabatan penting (puncak) dalam hirarki formal lembaga kenegaraan. Dengan demikian, suatu prestasi “masa lalu” bisa jadi tidak relevan di “masa depan”.


Tulisan ini tidak ditujukan untuk mendiskreditkan partai-partai kontestan Pemilu 2009. Namun, selayaknya klaim itu ditempatkan sesuai porsinya, khususnya sebagai media pembelajaran tentang kearifan berpolitik. Agaknya tidak perlu mencampur-adukkan antara kondisi politik-ekonomi global dan nasional yang fluktuatif, atau prestasi secara kelembagaan formal, dengan prestasi yang benar-benar murni dari individu elemen partai. Jika demikian, kepada siapa layaknya publik berterimakasih?


Mempermainkan harapan publik memang bukan sesuatu yang bijak. Apalagi yang menyangkut ranah-ranah vital dan sensitif bagi publik. Hati rakyat Indonesia bagai mentari, betapapun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi, demikian kata Kipandjikusmin dalam cerpen kontroversialnya: Langit Makin Mendung. Publik tak butuh iklan, tapi perbaikan nasib di masa depan.


Surabaya, 10 Pebruari 2009



(Abimardha Kurniawan)

Minat Berkarya dan Ruang Apresiasi

Ketika disodori tema diskusi kali ini, yaitu “meningkatkan minat berkarya dalam ruang sastra”, saya membayangkan tentang sesuatu yang bisa membuat orang tertarik untuk menulis karya sastra, entah itu puisi, prosa, drama, ataupun esai apresiasi-kritik. Ada kesan pamrih di sini. Dalam artian, sastra harus memberi sesuatu kepada orang yang mau berkecimpung di dalamnya.


Itu sekedar anggapan temporal saya saja. Saya yakin, bukan sikap pamrih yang handak dituangkan dalam tema ini, melainkan motivasi untuk mendekati dan masuk ke dalam ruang sastra. Sesuatu yang positif. Sastra butuh aparat penggerak demi kelangsungan hidupnya, khususnya dari segi kepenulisan atau produksi karya.


Ada baiknya kita menilik pendapat Acep Zamzam Noor dalam sebuah wawancara dengan surat kabar nasional. Ia berkata bahwa jangan terlalu berharap hidup dari puisi (baca: sastra), namun bagaimana cara kita menghidupi puisi. Pendapat ini disampaikan ketika ia mengalami sebuah situasi yang membuat sastra begitu mahal di matanya.


Ia paham betul terhadap kerja sastranya secara pribadi. Menurutnya, honor ketika puisinya dimuat di media, tidak sebanding dengan “biaya” yang harus ia keluarkan bila menulis puisi. Menulis puisi, baginya, butuh waktu lama dan bisa menghabiskan rokok berbungkus-bungkus.


Meski tidak dengan maksud menggeneralisir kerja setiap pengarang, pendapat Acep di atas menyiratkan semacam pesan bahwa sebaiknya sastra didekati dari hal-hal material. Namun, sastra perlu didekati dari sastra itu sendiri. Nampak juga di sini, seorang Acep telah menemukan “ruangan” pribadinya dalam ruang sastra. Mungkin ia telah berasyik-masuk. Banyak hal yang tidak ia temui di dunia riil, ia temukan dalam puisi (baca: sastra).


Inilah yang membuat sastra hidup dan ditulis orang hingga kini dan (mungkin) sampai nanti. Banyak pengarang yang menjadikan sastra sebagai sarana ungkap bagi gagasannya, entah itu yang berkaitan langsung dengan karya sastra itu sendiri ataupun lingkungan sosialnya. Bagi mereka, sastra adalah sesuatu yang menarik sekaligus punya kekuatan berbeda.


Lantas apakah perjalanan sebuah karya sastra berhenti dari segi penciptaan (penulisan) saja? Atau kalau pun ia dibaca, hanya menjadi konsumsi penulisnya? Sebenarnya hal itu sah-sah saja, namun untuk batas-batas tertentu, dan lingkupnya sangat pribadi.


Dalam perjalannnya, sebuah karya sastra perlu diapresiasi oleh subyek yang lebih luas, tidak hanya pengarangnya. Apresiasi publik bisa dijadikan tolok ukur kualitas sebuah karya. Artinya, apakah ia bisa diterima atau tidak oleh pembacanya. Atau juga, sebuah karya bisa berinteraksi dengan subjek yang beragam latar belakangnya, dan bisa didapat pula ragam penilaian. Dari situlah, seorang pengarang bisa punya tolok ukur terhadap kualitas karyanya.


Tentunya, untuk menjangkau subyek pembaca yang luas dibutuhkan media publikasi. Media publikasi tidak hanya terbatas pada surat kabar, penerbitan buku, jurnal, dan sebagainya, tetapi juga media-media lain yang memungkinkan untuk diakses oleh pembaca yang mejemuk, internet misalnya. Bila dalam surat kabar ada “pintu-pintu” yang harus ditembus, maka saat ini sudah semakin banyak media yang dimanfaatkan oleh siapa saja, betapa pun ia seorang yang baru memulai proses kepenulisan. Dari situlah dialog nan intens dan tanpa batas bisa dimungkinkan.


Akhirnya, memang tidak ada resep yang manjur untuk menumbuhkan serta meningkatkan minat berkarya dalam ruang sastra, kecuali semakin banyak membaca, berkarya, dan tetap menjadi diri sendiri. Terima kasih. ***


(Abimardha Kurniawan)

Menulis Puisi

Menulis memang bisa dikatakan bukan perkara mudah, apalagi menulis puisi. Pada dasarnya, menulis merupakan salah satu aktivitas komunikasi dengan media bahasa. Itulah gambaran umumnya, yang tentu saja puisi termasuk di dalamnya.

Puisi, sebagaimana juga jenis sastra yang lain, dianggap sebagai aktivitas komunikasi yang tak langsung. Artinya, jenis tulisan-tulisan tersebut memiliki simbol tersendiri yang berbeda dengan simbol-simbol dalam komunikasi umumnya. Lebih-lebih puisi yang dicap sebagai penyandang esensi sastra yang paling representatif.

Ungkapan seperti itu barangkali dicetuskan oleh orang yang memiliki apresiasi tinggi terhadap puisi, bukan jenis sastra lainya semacam prosa atau drama. Kadang kala, semakin rumit proses komunikasi yang ditawarkan, maka semakin bernilai puisi tersebut. Itulah sebabnya, pernah ada sekelompok penggerak aliran seni di daratan Eropa menganggap puisi sebagai media paling pas untuk menampung ekspresi-ekspresi yang paling liar sekalipun. Sebab mereka berpandangan bahwa dalam puisi ruang (deskripsi) dan waktu (narasi) bisa dibebaskan.

Anggapan semacam itu mungkin tercetus dari pandangan yang sempit mengenai puisi, atau juga ideologi-ideologi yang mereka tawarkan dalam menyikapi puisi. Jika ditelusuri lebih jauh, banyak sekali jenis puisi yang “tak membebaskan diri” dari belenggu narasi dan deskripsi. Misalnya saja puisi epik, atau těmbang di lingkungan budaya Jawa. Puisi tidak bisa disempitkan pengertiannya, terutama jika melihat konteks perkembangannya.

Bagi seseorang yang baru menulis puisi, pandangan-pandangan formal puisi serng menjadi acuannya. Misalnya tentang rima yang harus sama di setiap akhir baris, atau jumlah suku kata yang harus seimbang. Pandangan iu tidak bisa disalahkan karena sering terjadi akibat pengetahuan bawaan. Seseorang mendapat pengetahuan tentang puisi dari guru-guru bahasa di sekolahnya. Secara tak sadar pegetahuan itu terlembaga dan menjadi acuan formal. Sekali lagi hal itu bukan kesalahan, melainkan sangat diperlukan dalam membangun pandangan-pandangan yang nantinya bisa mereka kembangkan.

Setidaknya mereka yang berangkat dari pengetahuan itu perlu mendapat “kejutan-kejutan” setelah dihadapkan dengan wacana puisi yang sangat beragam. Dari situlah, sikap mereka terhadap puisi bisa dibangun. Singkatnya, mereka sudah punya bekal untuk menapak ke wilayah-wilayah selanjutnya yang lebih beragam.

Pernah ada yang mengatakan bahwa menulis puisi, atau jenis sastra lainnya, perlu berangkat dari hal-hal yang formal dulu, bukan melompat ke wilayah kreatif yang lebih kompleks dan beragam. Sebagaimana orang yang hendak melompati pagar yang tinggi, dia harus punya anangancang dan landasan berpijak yang kuat. Ada benarnya anggapan itu. Sebab sering kali orang-orang yang melompat ke wilayah kreatif yang kompleks tersebut, terjebak ke dalam ilusi pembaruan dan penyikapan yang buta terhadap karakter tulisannya. Hal-hal seperti ini perlu dihindari agar sesorang mengetahui arti sebuah proses yang membutuhkan intensifitas.

Menulis puisi dengan intens akan membantu proses penemuan jati diri atau karakter penulisan. Tak perlu bingung jika orang-orang mencerca karya-karya kita, yang penting proses harus terus berjalan. Tentunya hal itu juga perlu diimbangi dengan penjelajahan wacana agar suatu pandangan dan sikap tidak terlampau sempit apalagi buta.

Oleh karena adanya pertimbangan komunikasi, tentu seseorang harus paham betul apa yang hendak disampaikan. Seseorang yang tidak mengetahui maksud apa yang hendak ia sampaikan melalui puisi, seperti orang hanyut di arus sungai yang deras tanpa bisa meraih pegangan agar ia selamat.

Intinya jangan berhenti menulis, khususnya puisi. Pertahankan proses yang telah dilalui agar ia terus berjalan dan berkesinambungan. Jika dihadapakan pada halangan-halangan yang menghambat dan serasa memupuskan semangat, sikap terbaik adalah memulai. Sebab memulai adalah awal untuk melangkah ke proses selanjutnya. Tanpa memulai ide-ide kreatif tak akan menjadi suatu yang nyata dan dapat diapresiasi orang lain. Mungkin ini dulu.***


(Abimardha Kurniawan)

mengapa aku tiba-tiba merasa benci bila kutuliskan judul untuk puisi yang tak puisi ini?

tak urung kau buka juga jendela kamarmu. ada sesuatu yang menunggumu. sesuatu yang kau enggan menyebutnya dalam jaga, tidur, bahkan hanya dalam angan. kau takut? kau takut bila suatu saat dia memilihmu menjadi kekasih? dia sungguh mengharapkan kehadiranmu, seperti seorang bocah menunggu uang jajan dari sang ibu. entah sejak kapan cintanya tertanam selalu untukmu. dia tetaplah dia. dia adalah sesuatu yang menunggumu dari balik jendela. tapi kau enggan menyebutnya. mungkin ia merindu-dendam ingin menemuimu dalam sebuah kencan pas-pasan di bawah purnama bulan, di atas bangku taman, dalam sebuah kesempatan yang akan dia simpan di bilik kenangan. mengapa kau sungguh membencinya? mengapa hatimu gusar bila kusebut namanya? apa dia telah mengganggumu di setiap ruang dan waktu? ya, apa sebabnya kau sungguh membenci MAUT itu....


Surabaya, 23 Juli 2009


(Abimardha Kurniawan)

Sebelum Keluar Warnet

ada keranda mengapung di udara
menghantui setiap jendela yang kau buka

"jangan lekas berlalu,
sebelum kau tutup jendelamu..."


Suarabaya, 5 mei 2009, 14:03



(Abimardha Kurniawan)

Sepasang Pengantin

/1/

pada suatu tanda bersama
kuletakkan seikat kata
yang kelak kau namai cinta

betapa keabadian tak mengikat usia
bersama hanya sepenggal masa
di mana kita berumah
setelah lelah mengayuh perahu
dan berlabuh di pantai jauh
yang dulu kita rindu

maka kita tambat sejenak perahu waktu
kita semai benih-benih janji
semoga mekar berbuah di ujung hari


/2/

dan seakan telah berlabuh seluruh waktu, kini
bersanding mesra sepasang cinta
pada tampuk dan hening gumam doa

temali rindu jadi simpul penyatu
pun juga sepasang jiwa
tiada letih menanam benih janji di ladang waktu
demi buah bahagia yang ranum dan paling matang
hingga segala senja tiba dan menjelang

semoga...



Surabaya, 2009





* NB : puisi pesanan yang "dimuat" pada undangan pernikahan seorang teman.

Selagi Andini

selagi andini merindu hujan,
hujan merindu pula
lentik doa dari ulas senyumnya.




Surabaya, 08 mei 2009, 23: 57


(Abimardha Kurniawan)


Salam

gema suara dari ceruk kesilamanku
seperti merayu malam yang terburu menutup pintu


Surabaya, 14 April 2009, 2:34


(Abimardha Kurniawan)

Gurit tanpa Irah-irahan

sejatine aku butuh tamba
kanggo njaga ukara
mrih bisa krenteg ngicip donya
nadyan urip
kasuda dening nendra

pangucapku dadi donga
aksara dadi dalan
kang njlujur sunya
uga rasa cidra njroning ludira

dhuh, gurit iki
—gurit tanpa irah-irahan
kang rekasa
nandang laku
apa kang becik pinuju


Surabaya, Juni 2007


(Abimardha Kurniawan)