Rabu, 03 Agustus 2011

Dan Penyair pun Masih Mengigaukan Sejarah

1. tugu—malioboro, turun kereta

“duh malioboro yang tua, selepas sajak menjelma fatwa
memang, tiada cerita buat penyair penghuni celana!”


2. alun-alun utara yogyakarta, 21:58

untuk kesunyian yang tak diisyaratkan, kubangun senarai kuburan
dengan nisan berpahatkan nama manusia yogya
tapi cahaya tetap ada, ditampung luas area alun-alun utara

sedang untuk sebait lagu lama, yang sepi
dengan melodi dan melankoli tentang setitik air di daun keladi
malam pun beranjak tidur. ranjang-ranjang bumi,
dinding keagungan dan kehinaan, menutup kisah
di antara reruntuh sejarah yang ditulis orang tadi siang

namun, barisan tiang serta lampunya setia membagi cahaya maya. dan entah,
berjaga untuk siapa — bagi yang berdiri, bagi yang lelap tercampak di geladak becak
tanpa selimut, bagi yang luput dipagut maut, bagi yang sengau mengigau
mengaji alif-alif mimpi, atau sekedar memesan kopi di kedai-kedai sunyi

ah, semua kuisyaratkan — kota yang berjaga dalam tidurnya,
bulan pingsan di tilam awan, selaksa bunga renjana,
atau selembar daun yang terbaring hampa, menunggu pagi tiba
lalu disapu angin tenggara


3. kalatidha, apokalipsa bulaksumur

keadilan yang sunyi, waktu berperigi, dan manusia menggali kubur
— kuburnya sendiri, untuk waktu — waktunya sendiri

hanya cerita yang diam: udara demam yang karam,
beburung murung, matari muram, limbung di dahan asam.

cerita yang beku dari belahan asing
engkau dan gendingmu bertalu, menanam waktu
di beludru kaku zaman kalabendu. siang lemas
seperti suara-suara mengulum nafas

tapi mengapa berlalu demi cerita yang beku. bukankah,
sejarah juga milik orang kalah, milik rumput gelagah,
milik ampas atau sepah?

ah, kutulis saja puisi, sebab waktu berperigi
dan keadilan (masih) berdiri di rembang sunyi


4. bertemu peziarah di alun-alun utara yogyakarta, malam kedua

yogya didatanginya dengan pendulum mata sarat asam cuka
lantas ia berjaga, menghela kata demi kata,
menziarahi luka-lukanya yang fana, seperti isa — menempuh tirakat panjang
sebelum hari ketiga tandas ke lengang jurang

dalam suaka tanpa nama — untuk seserpih dalih yang gigih — bertaut ia
menjaring angin dan ombak parangkusuma
seraya membujuk kantuk pelupuk yang lapuk. dan pedih mata
memilih setangkup malam di selasar yogya

“duh, tahun sial memintas-penggal
rinduku bertemu kampung asal — haluan nasib tanpa hantaman sakal.
tiada aku membual, ini demi sebuah titah sakral”

ia memandang tanah lapang, jauh
sejauh gunung ketujuh, merayakan jenuh
lalu bangkit ia, mencari teduh
seperti ada teluh yang tumbuh di ujung subuh


5. surakarta, penginapan kedua

riuh rendah, arak-arakan orang kalah, lalu angslup
dihirup hawa dingin
dan keramaian yang lain

sepanjang lorong memutih dan hening kerajaan sunyi
wangi teracuni. dusta manusia di pasar-pasar:
kumuh seluruhnya. gaduh yang rusuh
menanggung memar ke dasar akar

“kami bertaruh, berebut suluh
di kerumitan dan bising jalanan, raung gelisah (coba) dipetakan.
kota tua, mengapa sendu jadi aib tak tertahan?”


6. slamet riyadi, malam hari

“aku patung batu; diam sebisu perunggu
meski ditingkah gelora — melebihi haru
aku acungkan lubang peluru ke sudut langit ungu!”

maka segala abai, seakan renyai; membangun karnaval sepanjang malam,
sepanjang jalan, meski untuk suatu yang terinsyafi — slamet riyadi
terbungkus halimun sunyi

“tak perlu kau rangkai bunga untukku. mereka ada,
seolah memilih warna, antara duka dan bahagia, seperti prosa
yang tetas — mengeras di aras ambiguitas!”

(ah, tibalah jua — menjelang pukul 9 malam hari, solo bermandi uap sepi
mengigau sendiri di tepi rel tak terlewati)


7. blues, berujung di sri tanjung*

kakofon kereta mendesak ke cakrawala, sayang
dengar sekali lagi, kakofon kereta beradu
meski nanti di stasiun terakhir, kitalah pasasir yang tersingkir

sayangku yang bijaksana, dalam perjalanan kelas tiga
kita hanya rama-rama, dengan tiket satu jurusan nan sederhana
nan pudar — meski masih berpendar merah — seolah tanpa sejarah


Yogyakarta—Surakarta—Surabaya, Mei 2008




*Sri Tanjung: nama kereta api jurusan Yogyakarta—Banyuwangi


Abimardha Kurniawan

Suluk Ranting Tua

di pagi milik pohon-pohon, matahari pelan menarik tali busur
panah-panah cahaya melesat, seakan likat, dingin tak seberapa pekat
hanya lewat. di bawahnya penyair merapat, di hadapannya
— rerunduk ranting tua, runduk yang termakan usia,
bergeming, penjuru pagi kemuning, disepuh angin nan bening


penyair:
hai, kering jemari ranting tua,
yang tiada tumbuh bunga pada ujungnya, mengapa
mengapa menunda patah. padahal telah jatuh pula sejarah, buah demi buah.
padahal kawanan burung gereja
berulang hinggap dan terbang. mereka tiada kau sapa
hanya ringkih saja kau mengangguk dan bergoyang...


ranting tua:
penyair, aku hanya bertapa. aku tak bahagia
hanya dengan cakar burung gereja. bila kutatap senja
kutatap juga angin mampat semakin renta,
bagai pemain piano tak kenal nada, kubuang segala bicara
kuingin musim berhenti, atau mundur sekali lagi.

tapi aku belajar membaca pesona akan waktu yang berlari,
dan mengikat ingatan akan tanah tandus berhumus
dengan daun-daunku yang rela menjelma kata
— tentu dalam sajakmu jua

sekarang, dengarlah hei penyair, kembangkan dengar
tangkap bulu-bulu angin yang lepas.
rasai daunku meluncur menurut alur rambutmu.
aku tiada beruban, meski kulitku kusut, pokokku rentan,
belulangku serawan perawan,
tapi dengar dan lihatlah dulu
— rasakan dunia memencil di matamu


penyair:
ranting tua, aku birahi membawa namamu kembali.
dirimukah biji yang dulu kutanam
ataukah adam mengajarimu bersetia pada dunia
seraya melihat anak-anaknya berebut kavling tanah di selasar surga?

bagiku, tua hanya racun usia, dimana
masing-masing kita dipaksa mencari kaca
menemukan bebayang kita
yang malas bersegera dewasa

tiadakah kau merasakannya, hai ranting tua?


rating tua:
penyair, tiada aku percaya tanganmu penuh duka.
bahkan ketika deras kata-kata purba yang kau punya
bergegas ke muara, tak kulihat,
juga tak kurasa, beku salju menuju cair,
meski niatmu, seluruh musim dingin segera cair dan berakhir

penyair, kesepianmu patung perunggu.
kesunyianmu arang serapuh debu.
mulailah bernyanyi, peras anggur jiwamu.
tanam benih kesabaranmu,
sebelum hujan mengirim badai,
dan banjir jadi benteng terakhir
bagi sebuah kota
yang terlahir untuk nyinyir

mungkin, kau harus jujur sebagai penyihir
usah uarkan pekik bahagia
setelah kau lepas isyarat—dalam berlaksa lambang
serta kata-kata yang keras kepala


penyair:
itu hanya sejengkal jarak, tak kukuasai bunyi hati.
namun semua samun,
semua terberkati sebagai pencuri

ranting tua, beri aku daunmu
sebelum kutunggangi beburung takdirku
sebelum aku pergi, dan laut bangkit
menderaikan ombaknya
— melimbur pecah, mengunyah nyawa


ranting tua:
hei penyair, basahi dulu telapakmu.
musim panasmu sering memaksa cerminmu berdebu.
rangkul debu-debu itu,
ajak mereka bertemu dengan percik air di ujung jarimu
lalu lepaskan,
biarkan cermin mengurai bayanganmu


penyair:
selalu aku risau memandang kemarau
wahai, ranting tua


ranting tua:
baiklah, remas daunku
bayangkan tiada dosa bila tanganmu basah oleh getah:
ia hanya darah kekasih,
yang lesatkan anak panah bercahaya
ke lampu sorga yang kian redup nyalanya


di pagi milik pohon-pohon, penyair dan ranting tua
sama merindu makna. lalu puisi meninggi,
menyusul matahari, meneteskan cahaya...



Surabaya, 2007-2009


Abimardha Kuniawan

Orang Gila

ke telinga sungai, tasik berbisik,
“akulah laut yang mengajakmu bercumbu
dengan batang jantan retak, menyemak,
yang bernama gemulung ombak.”

sementara di tengah kota, perempuan bermata baja
menghisap ganja atas nama tuhan yang dihina, dikhianati,
juga demi para nabi penghuni lembaran kitab suci,

“aku tak gila, aku tak gila!”,
teriak perempuan bermata baja,
“aku hanya pembela agama
— agama yang dinista begundal dan mafia”

“ssst... diamlah!” tegur penyair nyinyir.
maka dibuatnya manifes-manifes kosong, serta
selembar tiket tanpa tanggal pemberangkatan

”kapan ini kota bisa kutinggalkan?!”

bocah-bocah asyik bermain ayunan, prosotan,
papan jejungkitan di tengah taman,
ditemani seorang nenek peyot
yang biasa berjalan ngotot, meniru-niru robot.

“nenekku, ceritakan tentang sungai dan laut di bait satu”

nenek lantas menggambar bulan sabit berlambung buncit
dengan krayon yang disimpan di kantung kutang,
“ini perahunya, aku pinjam dia dari si tua bangka
— nuh yang tak dipercaya anaknya...”

“nek, apa kau sudah gila, ceritakan saja.
aku ingin mendengar laut megayun batang jantannya,
dan sungai mengerang panjang dibuatnya, hihihi...”
bocah-bocah tertawa geli, hingga tiada lagi
tempat sembuyi bagi sebaris gigis di deret gigi.

“cucuku, nanti sebelum senja, kota dilanda bencana
— banjir, puting beliung, badai tiada hentinya.
tuhan sedang tak enak badan di langit sana”

“huh, baiklah, aku minta saja tuan penyair membuat cerita”

ke telinga sungai, tasik menggelitik,
“di muara ada ranjang terapung.
wahai sungai, jangan kau murung
laut hanyalah bujang lembut nan perenung.”

“tapi ia gemar bermain tenung!” pekik sungai yang tiba-tiba
duduk di atas sofa, matanya tak lagi serupa baja,
tapi merah lentera pengundang birahi mata di luar kaca

“silakan menikmati,
seorang paderi dilarang berdiri di sini”

“duhai penyair, keberangkatan akan ditandai hujan
bukan hanya tiket satu jurusan yang dibutuhkan
tapi tuhan, tuhan yang kesepian, dan lama ditinggalkan.”
seru suara tak nampak, bagai bergolak rawan, jauh di kejauhan.

“nek, aku ingin lihat gambar porno”

“no!”

dan telah terdengar sungai beranjak mengalir
menuju bulan, sedang igauan laut tiada berakhir
mengalir, bergulir, terus mengalir...

“lautlah orang gilanya!” teriak penyair
mulutnya anyir berlendir-lendir.
sementara perempuan bermata baja
menuduhnya — pemuda gasang budak renjana

“tapi ia tak punya nafas segiras kuda”, nenek sinis
matanya memandang laut menggulungkan batang kemaluan
— eit, maaf, sekali lagi — ombak berlepasan

sungai berbisik ke telinga tasik,
“penyair hanya manusia bugil yang menggigil oleh dalil,
penyair punggungnya dekil, pikirannya muskil.”

“yuuhuu, aku orang barat, kau orang keparat!”
penyair bersijingkat, lalu melompat

bocah-bocah menunggang perahu buatan nenek
mereka menurut aliran sungai di belakang taman.
di bangku, nenek bersangga tongkat
— duduk termangu, sendiri dia menunggu.

tiba-tiba perempuan bermata baja melepas gaun,
meyulut rokok dengan centil. dari celah jendela rumah bordil,
dilihatnya laut menjulur bagai tangan lelaki jahil,

“hush, jangan sentuh aku!”

padahal langit pun turun, digandengnya malam
ke balik rimbun perdu di tepian taman
— tempat bocah-bocah bermain ayunan dan papan jejungkitan.
langit dan malam berciuman, liar bercumbuan.

“awas, kalau nyium jangan salah!” sergah bocah-bocah.
mereka berlarian setelah langit geram mengancam,
“awas, nanti kuturunkan geluduk dan hujan!”

nenek tetap duduk, bocah-bocah menghapus
gambar bulan sabit—yang katanya perahu itu.
ternyata, sungai galak juga, kepada laut dia tak suka

“nek, mana pelacurnya? kami ingin bertemu.”

sungguh gemulai geliat sungai, bocah-bocah mengangkat
sesosok perempuan sekarat dari tubuh sungai,
“ini pelacurnya, ini pelacurnya!”

“cucuku, dia magdalena”, nenek pelan berkata.
kata-katanya layu, lunglai, lemas dan bergegas
turun ke lantai, dan meringkuk
— mengenang dinding garba yang remuk tak berbentuk.

“nek, aku mulai ngantuk”

“jangan dulu cucuku, kita belum temukan
siapa yang pantas dikalahkan”

penyair berlari, hujan pergi, langit dan malam
lemas di tepian taman. perlahan tubuhnya ranggas.
tapi langit mengenang peristiwa pada bait pertama

langit menghubungkannya dengan tepat,
yaitu dengan bait laknat keduapuluhempat.
di sisi perdu, malam pun jatuh cemburu,

“ceraikan aku, ceraikan aku.
tapi pulangkan dulu anak-anakku
mereka butuh susu, tugasku hanya membagi susu”

“hehehe, bukan untukku?” penyair coba melucu

malam melengos, pergi, langit pun sendiri.
nenek masih bercerita kepada bocah
tentang seorang dara yang dijarah bromocorah.

“nek, mana adegan mesumnya?”

tanpa mereka sadari, penyair tiba-tiba berdiri.
bocah-bocah kaget, jantung nenek hampir kepleset.
“hei bocah, kau akan dibenci sejarah”,
penyair tiba-tiba menyergah

“huh, peduli amat tuan penyair”

penyair mencabut penanya, lalu ditikamkannya pena
ke tubuh sungai, bukan ke tubuh bocah.
tapi perempuan bermata baja itu menyeru,
“sungai tempatku bertumpu!”

“nek, lekaslah, apakah si dara
jadi dijarah bromocorah?”

nenek segera mengayunkan tongkat
— dikejarnya orang gila yang tiba-tiba
melompat dari judul di atas bait pertama

bocah-bocah mengkerut, tapi masih disimpannya
peristiwa lucu-berpeluh sebait sebelum bait keduapuluhtujuh.
nenek sudah semakin jauh

“aku ngantuk, mana adegan mesumnya,
ini puisi porno atau sebaliknya — penuh wacana,
penuh rencana-rencana masuk surga? tapi mengapa,
penyair tak memperkosa sungai atawa perempuan bermata baja?”

seorang paderi berpeci masuk puisi
sungai, juga perempuan bermata baja, coba menghadangnya
sang paderi angkat bicara dengan berkata,

“biarlah bocah-bocah kujaga”

sementara dari balik tirai jendela rumah bordil,
penyair nyinyir menyindir, “silakan menikmati,
seorang paderi dilarang kencing berlari.”

jauh di puncak bukit gundul nan masygul, orang gila
menari-nari gila, mulutnya mengigau dan berkata,
“ini masih setengahnya, masih setengahnya!
belum pula huru-hara, kaliyuga, menyentuh batas pamungkasnya...”

(bersambung)


Surabaya,2007-2010


Abimardha Kurniawan

Selasa, 02 Agustus 2011

Di Berandamu

saat-saat tak terhindarkan, ini mungkin suratan
segelas teh dalam genggamanmu terlanjur dingin
dan kita enggan berbincang, mengudap sisa biskuit
selagi bisa membayangkan sebuah ruangan
berjarak tujuh ribu depa dari kenangan

angin membawa harum rindu burung gereja
setiap serat penyusun kursi rotan, begitu akrab
mengenali peristiwa demi peristiwa tanpa sengaja
tapi bukan diam kita, cuma detak penanda
pembuluh darah berkejap dan berkejap
— dan diam kita alangkah semakin lengkap

di sini, terlalu kosong rindu, pertemuan usang
lemah memindai segenap gamang
aku melabuhkan bosan,
merampungkan headline halaman depan
tapi senyummu sesederhana meja beranda
menunggu cerita orang-orang yang tak pernah tiba...


2010


Abimardha Kurniawan

Isyarat Terakhir

setitik isyarat terakhir membawa perahuku bergulir
ke pesisir. tiada yang kutemui, kecuali
cangkang kerang kosong ditinggalkan,
juga aku yang terpisah dari puisi kesekian.

gebalau buih masih tak sendiri, riuh mereka
mengirim perih luka, tajam sengat garam,
mungkin juga rintih kapal karam dari dasar laut dalam.

tapi ke mana kau bersulih, hingga pantai bersih;
tanpa jejak, keluh kekasih, dan sebait lagu sedih?

dan, ah, sunyi demikian bengal dan bebal
betapa mahir ia membujuk nelayan tinggal,
berpaling, abai pada koyak layar tak tertambal...


2010


Abimardha Kurniawan

Stanza Bulu Mata

lengkung bulu mata milik boneka yang kau timang dulu
kini menjelma gemaris indah yang menggigir
di sisi sayu pelupukmu. lembaran cahaya pun berlompatan
dari keajaiban sepasang tatap mata

dan aku menyebutnya — surat cinta...
ah, lengkung bulu mata yang menyimpan bianglala,
yang menyeret gemulung awan ke ambang senja,
kini jadi hujan dalam kata-kata yang tengah kau baca


2010


Abimardha Kurniawan

Sebelum Kata

ingin aku ciptakan kata demi kata
yang mampu membuahkan senyum bibirmu
setelah gerimis rahasia
menyusun cerita tentang malam
yang membeku pada helaian rambutmu


2010


Abimardha Kurniawan

Terdengar Suara Hujan

terdengar suara hujan mematuk punggung jalan,
terakota atap, selaput daun, dan tik-tok detik terbantun.
cahaya pun murung, langit muram
gagal mengumpan bianglala dari lubuk cuaca

“aku rindu mati, aku rindu
papan namaku kau paku di punggung pintu.
seperti engkau hujan
— aku selalu menunggu luruh di pelataran”

terdengar suara hujan menginjak rumput taman,
lantai trotoar, meniti kawat-kawat menjalar:
seakan pekik mualim memanggil,
membujuk bujang datang berlayar

“aku rindu ombakmu, aku rindu
bahasa laut yang fasih mengucap maut.
hujan, kau gurat sungai,
kau jadikan jalan, atas temali cinta
antara hulu dan muara.
hujan, ciptakan laut di atas dunia
biar manusia bersua hakikatnya”

terdengar suara hujan menjentik di air kolam,
gigil kerikil, dan bebatuan yang mengulum diam
— mungkin juga mengulum dendam


2007


Abimardha Kurniawan

Nyanyain Pagi

kini, aku dan puisiku kembali menghirup pagi
setelah kemarin, kukenang kata-katamu
— juga warna senyummu— sebagai ketabahan senja
yang selalu membuka pintu, bagi angin, hujan,
serta malam

aku mengeja cinta yang penuh nyanyian
namun enggan aku suarakan, sebab aku biarkan
ceracau hujan riang berkejaran
dengan bisik gugur daun yang jatuh di jalanan

akhirnya, seisi pagi aku lukis jua lewat kata,
lewat demam rindu yang terus bersuara,
oleh karena senantiasa aku tahu
diri dan puisimu, berlagu di situ...


2007


Abimardha Kurniawan

Malam Hujan

maafkan, ini malam terlampau sesak

berbeban sunyi dan geligi hujan.


aku pun terhalang pada pandang,

gagal menjumpai kata-kata berperahu,

menempuh riam jeram sungai berbatu,

dari bibirmu

jauh ke pedalaman tidurku...



2006



Abimardha Kurniawan