Senin, 28 Juni 2010

Ode Bagi Tidur, 3

wajah yang terlipat bak secarik surat,
dalam amplop persegi, terasing sendiri:
tak pernah diposkan.

mungkin senja nanti datang s’orang lelaki
mengirim boks bayi, reranjang besi, juga peti mati
yang kupesan malam tadi. kupesan semua
atas nama rindu dan tidurku.

ini masih maret, masih seperempat lintasan,
belum lengkap para abdi menyusun laporan tahunan
kepada atasan. tapi, batuk sebungkah
terlalu lekas mencuat dari rabu yang lelah.

cintaku lepas dan berdarah. sementara di luar,
orang-orang hingar memuji panji warna-warni
jahitan tangan sendiri. pun matahari lesu,
menggantung sepatu di dahan layu si pohon jambu.

ah, bila senja menjemput tidurku, sayang?
wajah dan pelupukku kian sarat kerut lipat.
dan laju waktu yang mampat tersumbat
diam-diam mencoret semua alamat yang tercatat...


2009



(Abimardha Kurniawan)

Ode Bagi Tidur, 2

hanya dongeng kamar persegi, berdinding putih sunyi,
dengan katup pintu kayu jati yang terkunci,
adalah gambaran istirah bagi malam yang lengah dan lelah.
kusulut sumbu mimpi, seperti menyalakan ketaklukan
s’orang nelayan yang pulang tanpa tangkapan.

kemarau padam dalam tidur, sayangku.
selagi ada segenggam mungkin,
mata air ‘kan mencari celah yang lain.
belik dan perigi kembali berisi esok hari.
gerimis jadi kalis, membiakkan diri,
lalu lahirkan teduh bagi benih yang mau tumbuh.

sayangku, dengan senyum bijakmu,
tuang tubuh malamku ke dongeng kamar persegi,
pahat namaku ke dinding putih sunyi,
kunci kembali si katup pintu kayu jati,
dan kecuplah satu nyala mimpi
sebelum kau melayang pergi...


2009



(Abimardha Kurniawan)

Ode Bagi Tidur, 1

untuk sebentuk kantuk
yang lama mengetuk syaraf dan pelupuk,
aku hanya menunggu bersua tidur paling sempurna
dan riuh gaduh orang jauh di seberang sana
menggurat sebuah tanda belasungkawa
dengan air mata yang jatuh tiba-tiba...


2009



(Abimardha Kurniawan)

Minggu, 13 Juni 2010

Pelajaran Burung Gagak

ada gelak kepak dan suara melambang
seperti angin yang gegas 'tuk pulang kandang


Surabaya, 2006



(Abimardha Kurniawan)

Selimut

orang-orang terlalu yakin dirinya bisa terbang, padahal dalam diriku sendiri yakin mereka tak bakal terbag. oleh karena angin jenis apapun, dari penjuru manapun, begitu benci orang-orang itu. semua itu tersebab orang-orang itu bebal, berkepala batu. jika bangun pagi-pagi, mereka lantas pergi ke kamar mandi, entah mandi, mencari mati, atau membungkus kembali sisa roti kemarin pagi, dan membiarkan seliut mereka teronggok, kumal tak karuan di atas ranjang lumutan. bodoh! bodoh! bodoh! padahal selmut itu mampu membawa mereka terbang. selimut itu mampu menyatukan cinta orang-orang itu dengan selubung udara. lantas tubuh orang-orang itu ringan dijunjung angin dan mengawangdi angkasa mahaleluasa. hmmm... mengherankan, mengapa di zaman serba akhir ini, orang-orang tega mengacuhkan selimutnya. dan konon setiap malam, tetanggga samping rumah orang-orang ituselalu mendengar suara seperti teriakan korban perang abad duapuluhan: “aku selimut, aku bosan hinggap di tubuh busuk orang ini! tolong... ”


Surabaya, 2006



(Abimardha Kurniawan)

Magnum Opus

saban malam aku terlambat pulang. mengapa bisa begitu. tanya saja burung hantu yang ngorok di pojok kamar itu! huh... maksudmu galileo? atau mungkin plato? Atau semangkuk nonsens yang morat-marit di lantai bersama saus, keripik usus, dan gema ultrasonik yang dipecah kelelawar penunggu lumbung saat paceklik. o, mungkin saja itu sebuah piknik dari siang bolong hingga tenagh malam yang mlompong. coba katakan “sepi” sampai tiga kali. sepi. sepi. sepi? apa kau juga mengerti? aku belum menerti sebelum tubuhu tertusuk gerutu televisi. apa kau paham umpatan pemabuk yang diam-diam kehalaman rumahmu lalu menginjak-injak rumput setiap malam? aku bukan sokrates, bukan aristoteles. aku bukan gemetar bintang yang bimbang, atau nelayan gasang yang pulang tapi di tengah gelombang terbunuh ceracau camar yang riang. ah, mungkin kau tuhan? bukan. pejalan? bukan. batu-batu berserakan? bukan. lantas siapa yang kau peram dalam mimpimu semalam. dia dan aku bukan siapa-siapa, kau tahu itu, bukan siapa-siapa. apa aku harus bertanya pada gadis berkerudung yang membaca peta di lantai pertama. o, dia yang selalu bertanya apakah hidup ini hanya sulapan saja. ya, persis yang kau ucakan. persis? seperti bunyi kulkas mengerang dan mendesis? seperti bau kaus kaki yang kau lempar, lalu kau sulut bensin? api maksudmu? kau selalu saja menduga apilah yang bersalah, sejak dulu, sejak wujudmu meninggalkan rumah. oh, rumah yang ramah. tapi ini semacam ramalan, atau lebih tepat dongengan. tentang tuhan atau senja yang mengenang kuyup rumput saat hari hujan. ah, semua manusia jadi peziarah ternyata. aku masih payah dan terengah; menampar wajah sendiri sebab bayang-bayang penghuni kaca menatapku lalu tertawa. kaca? kaca yang kemarin pecah dan raib di lambung sejarah? begitulah.


Surabaya, 2006



(Abimardha Kurniawan)

mengapa aku tiba-tiba merasa benci bila kutuliskan judul untuk puisi yang tak puisi ini?

tak urung kau buka juga jendela kamarmu. ada sesuatu yang menunggumu. sesuatu yang kau enggan menyebutnya dalam jaga, tidur, bahkan hanya dalam angan. kau takut? kau takut bila suatu saat dia memilihmu menjadi kekasih? dia sungguh mengharapkan kehadiranmu, seperti seorang bocah menunggu uang jajan dari sang ibu. entah sejak kapan cintanya tertanam selalu untukmu. dia tetaplah dia. dia adalah sesuatu yang menunggumu dari balik jendela. tapi kau enggan menyebutnya. mungkin ia merindu-dendam ingin menemuimu dalam sebuah kencan pas-pasan di bawah purnama bulan, di atas bangku taman, dalam sebuah kesempatan yang akan dia simpan di bilik kenangan. mengapa kau sungguh membencinya? mengapa hatimu gusar bila kusebut namanya? apa dia telah mengganggumu di setiap ruang dan waktu? ya, apa sebabnya kau sungguh membenci MAUT itu....


Surabaya, 23 Juli 2009



(Abimardha Kurniawan)