Kamis, 01 Juli 2010

Geni Jora dan Biografi Gender

Oleh: Abimardha Kurniawan


Dalam banyak hal sastra dianggap tanggap, dianggap dapat mewakili suara elemen masyarakat tertentu dalam menanggapi problematika sosialnya. Berbagai macam represi yang dialami oleh elemen tertentu, tentunya akan mendapat tanggapan yang kritis dan cerdas. Dari sini terlihat bahwa sastra tidak akan lahir dari kosong pengalaman. Ada tenaga atau ruh-ruh dari peristiwa, gejala sosial, atau pun kegelisahan diri yang dapat memicu lahirnya karya sastra. Penekanannya adalah pengalaman pembacaan. Apakah pengalaman pembacaan ini nantinya terbukti sebagai rahim bagi gagasan-gagasan filosofis yang akan membuat karya sastra berbinar, atau mungkin ia juga memberi andil lahirnya karya sastra melodramatik, populer, atau juga karya sastra (yang dianggap pakar sastra aristokrat) rendah, yang pasti pengalaman pembacaan memegang peranan penting dalam proses penciptaan karya sastra.

Sebermula karya sastra lahir sebagai kritik atas pengalaman-pengalaman tersebut. Pengalaman pembacaan di sini bukan hanya pengalaman yang berkaitan dengan dunia sastra, melainkan juga semua gerak hidup yang dijalani pengarang, termasuk pengalaman nonsastranya. Sedangkan kritik di sini bukan sesuatu yang terbatas lingkupnya, sebagaimana asumsi umum bahwa kritik adalah justifikasi (penghakiman) terhadap negativitas. Bukan. Kritik ini juga bisa berupa penganutan terhadap suatu konsepsi ide, entah positif, entah negatif. Sebagai misal, ketika seseorang melihat (baca: mengalami) suatu fenomena hedonisme, lantas muncul sensasi pada dirinya, dan muncul semacam olah pikir dan perasaan, kemudian ia merasa nyaman untuk hidup sebagai representaornya, maka hal ini bisa dikatakan sebagai kritik juga. Sebab dalam proses itu melibatkan pertimbangan dan pengambilan keputusan (layaknya seorang hakim) oleh individu terhadap fenomena yang dialaminya. Sesungguhnya di sini terjadi proses transendensi dan imanensi. Seseorang mengalami pengalaman tersebut secara imanen dalam sifat lahiriah atau inderawi. Kemudian ia beranjak keluar dari pengalaman inderawi tersebut untuk akhirnya melakukan penilaian, pertimabangan, dan menghakimi pengalaman tersebut (transenden).

Maka dalam beberapa kesempatan ada dikatakan bahwa sastra seharusnya berangkat dari kejujuran pengarang. Hal itu memang akan menghasilkan karya sastra yang benar-benar utuh, benar-benar bisa mewakili suara terdalam pengarangnya. Karakter pengaang yang benar-benar pengarang muncul di situ. Pengarang bisa tampil utuh, walaupun ada batasannya. Batasan itu sebenarnya tak hendak membatasi pengarang. Justru batasan inilah yang memberi garis tegas antara karya sastra dan nonsastra. Batasan itu ialah konvensi sastra. Dengan konvensi sastra, suara pengangarang bisa terwakili dalam media sastra yang tidak terjebak sepenuhnya ke dalam hal-hal nonsastra. Bisa jadi karya-karya yang secara utuh menghadirkan suara pengarangnya tidak tergolong karya sastra, melainkan hanya berupa biografi, esai, artikel, atau karangan-karangan nonsastra belaka. Untuk itu, pembebatan suara-suara itu dengan anasir pendungkung konvensi sastra sangat diperlukan. Nilai-nilai artistik dan pengimajinasian akan mebungkus akan menimbulkan kesan yang lain terhadap suara itu, yaitu estetika dan fiksionalitas. Namun pengkomunikasian harus tetap terjaga, sebab pengkomunikasian itu penting agar maksud dan pandangan dunia pengarang bisa sampai ke pembaca.

Sabagai pembahasan adalah novel Geni Jora karya Abidah el-Khalieqy. Karya ini bergenre prosa. Karya prosa dianggap lebih mampu mengutarakan gagasan-gagasan pengarang secara mendetail dibandingkan dengan puisi yang bahasanya padat dan lebih simbolis.

***

Mungkin akan sulit dimengerti apa alasan novel Geni Jora menjadi pemenang kedua sayembara penulsan novel Dewan kesenian Jakarta. Latar belakang apa yang menyebabkannya terpilih menjadi pemenang. Tentunya ini tidak semata-mata hanya didasarkan pada testimoni para juri sayembara ini (Maman S Mahayana dan Budi Darma). Meski ada kebenaran juga mengenai testimoni itu menyangkut ideologi gender yang mendominasi novel ini. Namun apakah karena ideologi gender itu, atau renik-renik biografis yang tertuang dalam novel ini? Karena pada masa itu (2003) gelombang feminisme begitu seksi memikat para pengarang, khusunya perempuan pengarang. Selain itu adanya statemen bahwa pada akhir abad duapuluh dan awal abad duapuluh satu, permpuan lebih banyak berbicara dalam segala hal, termasuk kesusasteraan. Dan kondisi itu mengalami booming dengan munculnya novel Saman (Ayu Utami) menjadi pemenang pertama sayembara serupa dan juga menjadi karya yang fenomenal, bahkan menggetarkan urat-urat pembacanya. Feminisme “seolah-olah” dirintis dari sini, walaupun ideologi feminisme bukanlah barang baru di negara-negara maju seperti Amerika dan Australia. Feminisme dan munculnya perempuan pengarang sedang genit-genitnya pada masa itu, dan Saman menjadi tonggaknya di Indonesia.

Padahal, dalam sejarah kesusateraan Indonesia banyak sekali karya-karya yang berbau feminisme. Kaya-karya itu tidak hanya hadir dai mulut perempuan saja, tetapi ada beberapa lelaki pengarang yang ikut ambil bagian di dalamnya. Terutama pada masa pujangga baru, Armijn Pane dengan Belenggu-nya yang mengangkat fenomena perempuan modern. Pramoedya Ananta Toer yang mengangkat perempuan-perempuan revolusioner. Sedang pada dekade 70-an hingga 90-an, dikenal pula Toeti Heraty hingga Dorothea Rosa Herliany. Indikasi ini menunjukkan gejala feminisme telah berlangsug lama dalam sejarah kesusasteraan Indonesia. Akan tetapi dominasi lelaki pengarang membuat eksistensi perempuan pengarang sedikit terhalang. Namun, para lelaki pengarang yang mengangkat figur perempuan dirasa hanya sebatas pada konsepsi tentang perempuan saja. Bukan menampilkannya secara utuh. Berbeda dengan perempuan pengarang bila mengetengahkan keperempuanan. Bahkan kecenderungan tebu pun sengaja dilanggar oleh perempuan pengarang ini. Mungkin saja hal itu menyangkut alasan biografis yang dialami sebagian besar (atau seluruhnya) kaum perempaun. Ada kejengahan tersendiri terhadap model kebudayaan patriarki yang terus menyuperiorkan kaum laki-laki dan menginferiorkan kaum perempuan. Kaum perempuan juga butuh pengakuan eksistensi denanbertempat yang sederajat dengan laki-laki di ranah publik.

***

Kejengahan itu nampak sekali dalam novel Geni Jora ini. Kejengahan itu muncul dan memicu tokoh Kejora dalam novel ini untuk mengembangkan gagasan kesetaaan gender. Ia berpegang pada prinsip kadilan antara laki-laki dan perempuan. Pada renik-renik novel ini sikap militan tokoh Kejora nampak kelihatan:

.... Tetapi salah dalam sudut pandangku. Aku merasa, diriku mengalir sebagaimana takdir yang diperuntukkan bagiku. Sebagai perempuan, demikianlah kehadiranku. Merdeka. Mencoba beradaptasi dengan sopan santun dan bergerak sebagaimana makhluk-makhluk lain bergerak. Jika laki-laki pandai menipu, perempuan tak kalah lihainya dalam hal menipu. Jika laki-laki senang berburu, tidak ada salahnya perempuan menyenangi hal yang sama.”
...
...bahwa perempuan tidak bisa dibohongi dan bukan obyek kebohongan. Menipu perempuan adalah sama dengan menipu diri sendiri. Sekaligus menipu dunia.
" (GJ halm.9-10)

Atau pada bagian lain:

“Jika misalnya Zakky poligami, apa reaksi Kak Jora,” tanya Najwa.
“Aku akan poliandri, pakai cara-cara yang legal.”
“Seperti apa?”
“Pertama aku akan mengkhulu’nya. Lalu menikah lagi dengan bintang film yang gantengnya melebihi Zakky. Poliandri atau tidak, yang penting rasa adilnya. Sama-sama dua.”
(GJ hlm. 151)

Nampak militansi tokoh Kejora menjadi suatu yang galak terhadap budaya patriarki yang melingkunginya. Kejora menuntut keadilan gender. Apalagi ia harus dihadapkan pada kemunafikan yang diperlihatkan oleh tokoh opposannya, yaitu Zakky. Tokoh Zakky ini mengalami simbolisasi sebagai pendukung patriarki yang punya tendensi seksualitas: perempuan hanya pemuas hasrat petualangannya sebagai lelaki. Kejora menemukan sikap ketidakseimbangan dalam diri Zakky, yaitu antara intelektualitas-religius dan libido-seksualnya. Kejora tidak mau begitu saja menyerah pada kemunafikan Zakky. Dalam pandangan Kejora ideologi patriarki penuh kepalsuan. Kecenderunannya ada pada tendensi libido-seksual laki-laki.

Sesungguhnya alasan biografislah yang mendorong Kejora mengobarkan militansinya. Kebenciannya terhadap tokoh Nenek, pelecehan yang dilakukan pamannya, tabu-tabu di lingkungan domestik, hingga praktek poligami yang dilakoni ayahnya. Tokoh Neneklah yang pertama kali membeberkan keganjilan tentang ideologi patriarki kepadanya. Tokoh Nenek punya kecenderungan Victorian ortodoks. Ia mau mengalah dan dikalahkan oleh dominasi patriarki. Sebagaimana statemennya yang dikutip Kejora:

...Bahwa perempuan harus mau mengalah. Jika perempuan tidak mau mengalah, dunia akan jungkir balik berantakan seperti pecahan kaca. Sebab tak ada laki-laki yang mau mengalah. Laki-laki selalu ingin menang dan menguasai kemenangan.
...
..., ia (Prahara –laki-laki) tetap rangking pertama di dunia kenyataan. Sebaliknya kau. Betapapun rangkingmu, kau adalah perempuan dan akan tetap perempuan.
(GJ hlm.61-62)

Kejora memang lahir dan tumbuh di dalam lingkungan patriarki yang kental. Namun ia tidak serta merta menganutnya. Apalagi setelah ia menemukan borok-borok kultur patriarki. Ia berpaut pada rasa kemerdekaannya sebagai manusia, tanpa batasan gender.

Dari situlah pengalaman berperan banyak. Pengalaman dalam novel ini merupakan pengalaman biografis. Kesadaran Kejora muncul sebagi kritik atas pengalaman-pengalaman itu, khususnya pengalaman yang berkaiatan dengan gender. Kesadaran itu mungkin muncul setelah terjadi kondesasi sebagai akibat represi kultur patriarki yang menyerangnya. Inilah sikap tanggap tersebut. Kejora menjadi opposan-militan terhadap ideologi patriarki.

Guna mendukung konsepsi tersebut, ada pula dala novel yang bersudut pandang orang pertama ini, ditempatkan tokoh-tokoh perempuan dari dunia Arab, muali dari Rabiah, Fatima Mersinni, Nawal el-Sadawi, hingga Benazir Bhutto. Perempuan-perempuan tersebut tidak tenggelam eksistensinya ditengah kebudayaan patriarki dunia Arab yang sangat kuat. Bahkan di sini pula ada pembandingan antara kebudayaan Arab dan Yahudi dalam hal perlakuan kedua kebudayaan tersebut terhadap perempuan. Kebudayaan Yahudi memang banyak melahirkan perempuan-perempua tangguh semacam Golda Meir hingga Medelaine Albright. Karena dalam kebudayaan Yahudi ini, meskipun segala peran sosial dipegang kaum laki-laki, namundominasi perempuan tidak dapat dielakkan. Meski terkadang ada “kebiadaban” tersendiri dalam kebudayaan Yahudi yang menyangkut gender. Selain itu juga dalam novel ini sering ditempatkan perempuan-perempuan yang berkeliaran bebas di ranah publik. Mereka tidak terbatas hanya pada ruang domestik. Mereka punyakesadaran intelektual dan kehidupan yang lebih sejajar dengan laki-laki.

Namun dari semua itu, terasa ada yang mengantung. Apakah semua konsepsi pemikiran, manifestasi pemikiran, hingga pengalaman-pengalaman yang dialami Kejora itu adalah wakil dari tokoh pengarang novel ini (Abidah)? Sebab, berdasarkan biografi pengarang yang terlampir di dua halaman terakhir novel ini dan juga dari beberapa sumber, menunjukkan ada kesesuaian. Latar belakang pengarang sering muncul dalam novel ini. Kemiripan sosok Abidah dengan tokoh Kejora yang sama-sama mengalami kungkungan tembok feodal, juga kehidupan pesantren putri, hingg kota-kota di Timur Tengah. Apakah kendensasi dan peledakan itu benar-benar terjadi hingga lahir novel opposan-patriarki, novel penuntut keadilan gender ini? Setidaknya harus disesuaikan dengan fiksionalitasnya karya sastra juga. Dan karya sastra tidak akan lahir dali kekosongan pengalaman, terutama pengalaman pngarang itu sendiri. Maka studi biografis pengarang perlu juga dilakukan, apakah karya sastra yang dihasilkan merupakan transformasi dari pengalaman pengarang dengan balutan konvensi sastra, meski pengarang juga punya ruang privat yang sulit ditembus publik. Terlepas dari anggapan “otonomi-teks” dan “pengarang telah mati,” pengarang merupakan produsen karya sastra. Pandangan dunia serta pengalaman-pengalamannya biasa termuat dalam karya sastra.