Rabu, 21 April 2010

Surat-surat Sunyi

H.H.


mengapa tak terkabar
perasaan ingin menyentuh bulan
hanya tersimpan di sela catatan:
bersama aksara, kabut, hijab perantara
bahkan suara tanpa rupa
— tanpa suara

mengapa harus diam ditabal
dalam tanda yang fana
ketika hening menyusut
api perasaan tersulut di sudut
berpagut selingkung sunyi
pada serpih hati yang bernyanyi
dan bernyanyi

juga mengapa terlipat surat demi surat
dan tersimpan di sela halaman buku catat
seperti tanpa alamat, seperti tak bertuju
lalu berdebu, tersamar tawa hantu

duh diammu itu
— diam tak berungkap itu...


Yogyakarta, Juni 2007



(Abimardha Kurniawan)

Imogiri

keheningan puncak
dan ratusan anak tangga
menghiba ke angkasa

takdir ranggasan daun
rebah di bawah kumparan doa.
di atas pusara tua
pun sunyi meregang nama demi nama

ya salam, ya salam

senja pun undur mengubur bukit,
suara asing dari gumam peziarah,
juru kunci, juga para abdi dari dua negeri
bersila sembari merapal doa.

sementara angin laut selatan
membujuk daun memanggul debu,
merindu puing
yang ditahbiskan lindu dan waktu

kuikuti alun senja
tubuh-tubuh yang lunas meregang nyawa
berbisik, bersuara
di sela dengung serangga
simponi mistik, aroma dupa, duka
dan kidung doa-doa
yang gegas bertakzim
menutup pintu paduraksa

ya salam, ya salam

berkawan sawan kemenyan peradaban
sunan-sultan menjaga di bukit selatan


Yogyakarta, Juni 2007



(Abimardha Kurniawan)

Kauman: Elegi Penginapan

selebihnya, hanya harapan bertemu burung-burung
yang singgah ke bangsal mimpiku semalam
meski kini, di benak tersisa harap
menemu kerlingmu lagi, duh engkau yang pergi
bersama pagi dan bisik kawan berpamitan
yang menguar, berserak di halaman penginapan:

“doakan, semoga doa tak kehilangan bulan
sebelum perjalanan memanjang dalam kiasan
doakan, atas seluruh nasib
berujung di pantai keselamatan”

maka, sore ini, tubuh kembali sunyi
mengenang kerlingmu
yang terbang
meninggi
menjadi burung dalam taksiran hari
bukan di bangsal mimpi


Yogyakarta, Juni 2007



(Abimardha Kurniawan)

Di antara Pagelaran Dangdut Alun-alun Utara Yogyakarta

aku menyapa keramaian
keramaian menyapaku

kami berteguran, berbincang
tentang suatu yang semu

entah nantinya siapa
— di antara kami berdua —
yang menangis
atau tersedu lebih dulu


Yogyakarta, Juni 2007



(Abimardha Kurniawan)

Sajak Kertas Timah

kertas timah pembungkus rokokmu
penanda suatu yang lucu

mungkin ia ingin menjaga
dari sembab-lembab yang ada
mungkin sekedar menjaga rasa
agar tak pergi, sebelum kau berulah
mencecap gurih asap tembakaunya

tapi, kutulis sajak jua
pada kertas timah pembungkus rokokmu
sekedar menandai suatu yang lucu, yaitu
ketika gurih asap itu
bersiap terlepas jauh dari lidahmu


Jakarta, Juni 2008



(Abimardha Kurniawan)

Di Depan Embassy of the Republic of Hungary

andai saat ini tuhan yang kuyakini baik hati menghadiahkan untukku
sepasang sayap kertas milik malaikat pengawalnya,
aku lantas bergegas terbang menuju kota bijana tanpa lagi menoleh
pada lilin kesabaranku yang saleh, yang diam-diam luluh, dan meleleh


Jakarta, Juni 2008



(Abimardha Kurniawan)

Di Denyut Larut Alun-alun Utara Yogyakarta

di denyut larut alun-alun utara yogyakarta
malam mengigau hampa — seakan tanpa suara
lalu sendu, membujuk bulan melempar tinju
beradu semu kemuning cahaya lampu


Yogyakarta, 16 Mei 2008



(Abimardha Kurniawan)

Malam Resepsionis

kamar tanpa lampu memang bukan untukmu
meski di dalamnya ada televisi, kran tak mati,
ranjang lapang-bantal-guling, hangat selimut,
cermin pematut, meja-kursi, tata ruang nan rapi,
kipas angin, handuk dan sabun mandi pengusir daki,
juga segala fasilitas yang kau hendaki

itulah konsekuensi yang musti terpatri
setelah kau lunasi transaksi administrasi
dan kuserahkan sebilah mata kunci

aku tahu, kamar tanpa lampu membuat kau bisu
kehilangan arti, apalagi kau sering menulis puisi
dan tak henti menatap cermin
— menguliti bayangan sendiri
sampai pagi, sampai mati


Blitar, 2 November 2008



(Abimardha Kurniawan)

Tiada Terlintas Hujan Untukku Malam Ini

tiada terlintas hujan untukku malam ini
sedang aku ingin menikmati seru suara lagunya
riuh menggema
menyentuh relung tak berjiwa

seandainya kau datang
mengetuk pintu malam-malamku
mungkin akan kudengar seperti hujan
memainkan sepenggal komposisi
tentang sepucuk rosmari mati di taman sunyi

singgahlah kau malam ini
layaknya rindu tengah berduri menjelma di sini
kunanti hujan yang (mungkin) tak kembali


2008



(Abimardha Kurniawan)

Sematkan Sepucuk Tangismu

sematkan sepucuk tangismu di antara lembayung
langit sore, di antara tajam surya warna tembaga
antara kubah awan yang rapuh
menggayuti tinggi lazuardi.

bila memang harus tangis yang (mesti) terurai,
uraikan ia, bahasakan ke seluruh penjuru
ucapkan bersama angin
yang tiba dan berkelana
yang menyapa setiap sunyi manusia

sematkan sepucuk tangismu
sematkan di sela daun, kuncup
di sela ranting yang merindu bayu
di sela hutan, di taman-taman keheningan

sematkan sepucuk tangismu
serukan ke arah langit
agar langit membacanya
serukan ke lubuk bumi
agar bumi setia memeramnya

mungkin dalam tangismu,
tersimpan tangis semesta:
tangis sederhana
yang jatuh berduka
meski tanpa airmata.


2008



(Abimardha Kurniawan)

Rengsa Hujan

/1./

dan aku tandai detik-detik kejatuhan ini
sebagai hujan dini hari

esok, temukan tanda kehancuran yang sarat
memadat di cekung mataku
dan mungkin hidup akan jadi sebentuk kiasan
yang enggan didendangkan hujan

di luar kamar
kudengar orkes hujan menabuh udara pagi
butiran basah yang luruh melumuri tanah
kelak kusampaikan sebagai hadiah
bagi bumi
yang mengigau
oleh desau dan risau angin kemarau


/2./

dalam perjalanan tanpa isyarat
kurindu engkau datang membangun tahun kenangan
laiknya kematian yang disempurnakan hujan
segala simpang yang kupandang
hanya berdiang mendekap lengang

bila coba kubaca
ke laut mana setapak ini berakhir
—tiada nafas yang bergegas, amukan buas
badai musim panas, atau sayap angin
yang menuntun ranting getas beranjak lepas

tapi ini perjalanan hampa
dengan arah mimpi
serta bubuk kenangan yang menguap sia-sia


2007



(Abimardha Kurniawan)

Trawas, 2

jajaran cahaya jingga pada tanjakan jalan
seperti tangga cahaya melepas doa
ke pucuk bukit hingga ke altar langit
sambil lagukan madah, meniru api lilin
dalam dekap tangan peziarah

jika kabut pun turun mengunyah kampung
dan tegalan, aku ingin bertasbih
sambil memetik pelajaran
dari basah yang diusapkan ke rambut malam
sebelum kukibarkan ingatan lepas ke jantung bulan
— menjaga cahaya yang jatuh
menyentuh punggung dedaunan

maka sempurnalah segala
— malam memandikan rinduku
dengan sunyi dan dzikir penuh lagu


2007



(Abimardha Kurniawan)

Trawas, 1

malam memencil di sudut mei. hawa
menggigilkan bulan. keremangan unggas
yang melintas, bahkan bumbung capung
tiada berhinggap
selepas bukit dan pohonan dibekap lindap

kunikmati nafas air, embun beludru
dan kata-kata berdiri
di tengah sunyi dan batu-batu

sungguh, betapa megah senja berlagu
sisik awan luruh menggerimis
dengan bunyi ritmis nan sakit
cuaca pun merabun — lalu bangkit
— dibungkus kabut dari selatan bukit

kunikmati sunyi kabut ini, setelah cahaya
dan rumputan tiarap di bawah gelap
yang sempurna


2007



(Abimardha Kurniawan)

Ungu Umu

ada gumam cuaca
gegas menimpa pucuk cemara.
ada desir tak terpahami, di sini
siapa pun berjalan, membawa nyawa
atau sekedar menjala suara
dari jejak hampa dan gerak udara

di sendu matamu, umu
bulan getas melintas, trawas mengeras
dihantui nyanyi serangga musim panas.
semua menjelma ruang
dimana nafas mengenal sepintas
riwayat garis batas

jauh di luar vila, lampu-lampu menyala
walau kabut enggan melikat,
gerimis tersumbat gigil yang pekat.
bersama ungu senyummu, cuaca merabun,
lalu turun, berjajar, dan terlantar
di selasar pagar pudar membelukar

namun, demi gumam lanskap cuaca
siapa pun terasa cela ‘tuk datang mencinta
setelah udara sesak cerita
tentang bunga angsana dan duri akasia
yang kau simpan di selubung jiwa


2007



(Abimardha Kurniawan)

Minggu, 11 April 2010

Wordless

tiga detak doa
mengantar bebeurung renta
pulang ke sangkar sorga


Surabaya, 7 Juni 2009



(Abimardha Kurniawan)

Di Sore Secerah Ini

di sore secerah ini
kau sendirian berkawan hujan

tiada satu kemalangan pun menimpamu
meski kau pagari keranda rindumu
dengan airmata yang terlanjur beku


Surabaya, 3 Juni 2009



(Abimardha Kurniawan)

Selasa, 06 April 2010

Masih Tentang Hujan

yang melebat dalam senyummu
hanyalah waktu, juga rericik tak terdengar
dari belantara jauh


Surabaya, 2009



(Abimardha Kurniawan)

Senin, 05 April 2010

Untitled, 7

hallo tuan foucault
ini ada sejarah sedang berulah
: mohon lekas datang kemari
ke rumah penghuni biadab ini
mari, mari, mari...

(diam-diam, kau hapus judul puisi ini
dan kau beri satu tanda sunyi
yang aku pun tak tahu
di mana ada tanda itu)


Surabaya, 23 April 2009, 08:05



(Abimardha Kurniawan)

Minggu, 04 April 2010

Untitled, 6

sebentar saja, renyah cerita ringanmu memisahkan daun dari hujan
teh dalam gelas yang cuil bibirnya, terlalu lama bungkam
:mengasingkan diri dari catatan suhu yang hangat
ah, andai saja alkohol merah termometermu mampu meraba
demamnya

tapi, tiba giliranku menunggu kini di warung kaki lima langgananku
tanpa kretek sigaret, buku catatan, pensil kayu yang ujungnya rapuh
oleh gigitanmu. apa musti kuberi judul puisi ini biar tak terbakar sunyi?
atau judul-judul itu malah menggunduli sunyiku sendiri?

ah, barangkali kau temu jawabnya
sehabis tuntas kau baca puisi tanpa judul ini...


Surabaya, 22 April 2009



(Abimardha Kurniawan)

Sabtu, 03 April 2010

Untitled, 5

ini kamar lunas kumiliki sendiri
aneh tapi, rasa-rasanya, aku
hanya seorang pelancong kosong


Surabaya, 20 April 2009



(Abimardha Kurniawan)

Kamis, 01 April 2010

Untitled, 4

namun, sebelum meranum gurat tirus di tepi senyummu,
akan kuceritakan tentang minibus yang diparkir sendirian
di seberang jalan

bukankah itu kesunyian juga, naila?


Surabaya, 19 April 2009



(Abimardha Kurniawan)