— H.H.
mengapa tak terkabar
perasaan ingin menyentuh bulan
hanya tersimpan di sela catatan:
bersama aksara, kabut, hijab perantara
bahkan suara tanpa rupa
— tanpa suara
mengapa harus diam ditabal
dalam tanda yang fana
ketika hening menyusut
api perasaan tersulut di sudut
berpagut selingkung sunyi
pada serpih hati yang bernyanyi
dan bernyanyi
juga mengapa terlipat surat demi surat
dan tersimpan di sela halaman buku catat
seperti tanpa alamat, seperti tak bertuju
lalu berdebu, tersamar tawa hantu
duh diammu itu
— diam tak berungkap itu...
Yogyakarta, Juni 2007
(Abimardha Kurniawan)
bagai sebuah kubus berongga yang satu sisinya terbuka, menganga, menengadah ke angkasa, seolah ingin selalu menampung lelehan hujan yang sederhana.
Rabu, 21 April 2010
Imogiri
keheningan puncak
dan ratusan anak tangga
menghiba ke angkasa
takdir ranggasan daun
rebah di bawah kumparan doa.
di atas pusara tua
pun sunyi meregang nama demi nama
ya salam, ya salam
senja pun undur mengubur bukit,
suara asing dari gumam peziarah,
juru kunci, juga para abdi dari dua negeri
bersila sembari merapal doa.
sementara angin laut selatan
membujuk daun memanggul debu,
merindu puing
yang ditahbiskan lindu dan waktu
kuikuti alun senja
tubuh-tubuh yang lunas meregang nyawa
berbisik, bersuara
di sela dengung serangga
simponi mistik, aroma dupa, duka
dan kidung doa-doa
yang gegas bertakzim
menutup pintu paduraksa
ya salam, ya salam
berkawan sawan kemenyan peradaban
sunan-sultan menjaga di bukit selatan
Yogyakarta, Juni 2007
(Abimardha Kurniawan)
dan ratusan anak tangga
menghiba ke angkasa
takdir ranggasan daun
rebah di bawah kumparan doa.
di atas pusara tua
pun sunyi meregang nama demi nama
ya salam, ya salam
senja pun undur mengubur bukit,
suara asing dari gumam peziarah,
juru kunci, juga para abdi dari dua negeri
bersila sembari merapal doa.
sementara angin laut selatan
membujuk daun memanggul debu,
merindu puing
yang ditahbiskan lindu dan waktu
kuikuti alun senja
tubuh-tubuh yang lunas meregang nyawa
berbisik, bersuara
di sela dengung serangga
simponi mistik, aroma dupa, duka
dan kidung doa-doa
yang gegas bertakzim
menutup pintu paduraksa
ya salam, ya salam
berkawan sawan kemenyan peradaban
sunan-sultan menjaga di bukit selatan
Yogyakarta, Juni 2007
(Abimardha Kurniawan)
Kauman: Elegi Penginapan
selebihnya, hanya harapan bertemu burung-burung
yang singgah ke bangsal mimpiku semalam
meski kini, di benak tersisa harap
menemu kerlingmu lagi, duh engkau yang pergi
bersama pagi dan bisik kawan berpamitan
yang menguar, berserak di halaman penginapan:
“doakan, semoga doa tak kehilangan bulan
sebelum perjalanan memanjang dalam kiasan
doakan, atas seluruh nasib
berujung di pantai keselamatan”
maka, sore ini, tubuh kembali sunyi
mengenang kerlingmu
yang terbang
meninggi
menjadi burung dalam taksiran hari
bukan di bangsal mimpi
Yogyakarta, Juni 2007
(Abimardha Kurniawan)
yang singgah ke bangsal mimpiku semalam
meski kini, di benak tersisa harap
menemu kerlingmu lagi, duh engkau yang pergi
bersama pagi dan bisik kawan berpamitan
yang menguar, berserak di halaman penginapan:
“doakan, semoga doa tak kehilangan bulan
sebelum perjalanan memanjang dalam kiasan
doakan, atas seluruh nasib
berujung di pantai keselamatan”
maka, sore ini, tubuh kembali sunyi
mengenang kerlingmu
yang terbang
meninggi
menjadi burung dalam taksiran hari
bukan di bangsal mimpi
Yogyakarta, Juni 2007
(Abimardha Kurniawan)
Di antara Pagelaran Dangdut Alun-alun Utara Yogyakarta
aku menyapa keramaian
keramaian menyapaku
kami berteguran, berbincang
tentang suatu yang semu
entah nantinya siapa
— di antara kami berdua —
yang menangis
atau tersedu lebih dulu
Yogyakarta, Juni 2007
(Abimardha Kurniawan)
keramaian menyapaku
kami berteguran, berbincang
tentang suatu yang semu
entah nantinya siapa
— di antara kami berdua —
yang menangis
atau tersedu lebih dulu
Yogyakarta, Juni 2007
(Abimardha Kurniawan)
Sajak Kertas Timah
kertas timah pembungkus rokokmu
penanda suatu yang lucu
mungkin ia ingin menjaga
dari sembab-lembab yang ada
mungkin sekedar menjaga rasa
agar tak pergi, sebelum kau berulah
mencecap gurih asap tembakaunya
tapi, kutulis sajak jua
pada kertas timah pembungkus rokokmu
sekedar menandai suatu yang lucu, yaitu
ketika gurih asap itu
bersiap terlepas jauh dari lidahmu
Jakarta, Juni 2008
(Abimardha Kurniawan)
penanda suatu yang lucu
mungkin ia ingin menjaga
dari sembab-lembab yang ada
mungkin sekedar menjaga rasa
agar tak pergi, sebelum kau berulah
mencecap gurih asap tembakaunya
tapi, kutulis sajak jua
pada kertas timah pembungkus rokokmu
sekedar menandai suatu yang lucu, yaitu
ketika gurih asap itu
bersiap terlepas jauh dari lidahmu
Jakarta, Juni 2008
(Abimardha Kurniawan)
Di Depan Embassy of the Republic of Hungary
andai saat ini tuhan yang kuyakini baik hati menghadiahkan untukku
sepasang sayap kertas milik malaikat pengawalnya,
aku lantas bergegas terbang menuju kota bijana tanpa lagi menoleh
pada lilin kesabaranku yang saleh, yang diam-diam luluh, dan meleleh
Jakarta, Juni 2008
(Abimardha Kurniawan)
sepasang sayap kertas milik malaikat pengawalnya,
aku lantas bergegas terbang menuju kota bijana tanpa lagi menoleh
pada lilin kesabaranku yang saleh, yang diam-diam luluh, dan meleleh
Jakarta, Juni 2008
(Abimardha Kurniawan)
Di Denyut Larut Alun-alun Utara Yogyakarta
di denyut larut alun-alun utara yogyakarta
malam mengigau hampa — seakan tanpa suara
lalu sendu, membujuk bulan melempar tinju
beradu semu kemuning cahaya lampu
Yogyakarta, 16 Mei 2008
(Abimardha Kurniawan)
malam mengigau hampa — seakan tanpa suara
lalu sendu, membujuk bulan melempar tinju
beradu semu kemuning cahaya lampu
Yogyakarta, 16 Mei 2008
(Abimardha Kurniawan)
Malam Resepsionis
kamar tanpa lampu memang bukan untukmu
meski di dalamnya ada televisi, kran tak mati,
ranjang lapang-bantal-guling, hangat selimut,
cermin pematut, meja-kursi, tata ruang nan rapi,
kipas angin, handuk dan sabun mandi pengusir daki,
juga segala fasilitas yang kau hendaki
itulah konsekuensi yang musti terpatri
setelah kau lunasi transaksi administrasi
dan kuserahkan sebilah mata kunci
aku tahu, kamar tanpa lampu membuat kau bisu
kehilangan arti, apalagi kau sering menulis puisi
dan tak henti menatap cermin
— menguliti bayangan sendiri
sampai pagi, sampai mati
Blitar, 2 November 2008
(Abimardha Kurniawan)
meski di dalamnya ada televisi, kran tak mati,
ranjang lapang-bantal-guling, hangat selimut,
cermin pematut, meja-kursi, tata ruang nan rapi,
kipas angin, handuk dan sabun mandi pengusir daki,
juga segala fasilitas yang kau hendaki
itulah konsekuensi yang musti terpatri
setelah kau lunasi transaksi administrasi
dan kuserahkan sebilah mata kunci
aku tahu, kamar tanpa lampu membuat kau bisu
kehilangan arti, apalagi kau sering menulis puisi
dan tak henti menatap cermin
— menguliti bayangan sendiri
sampai pagi, sampai mati
Blitar, 2 November 2008
(Abimardha Kurniawan)
Tiada Terlintas Hujan Untukku Malam Ini
tiada terlintas hujan untukku malam ini
sedang aku ingin menikmati seru suara lagunya
riuh menggema
menyentuh relung tak berjiwa
seandainya kau datang
mengetuk pintu malam-malamku
mungkin akan kudengar seperti hujan
memainkan sepenggal komposisi
tentang sepucuk rosmari mati di taman sunyi
singgahlah kau malam ini
layaknya rindu tengah berduri menjelma di sini
kunanti hujan yang (mungkin) tak kembali
2008
(Abimardha Kurniawan)
sedang aku ingin menikmati seru suara lagunya
riuh menggema
menyentuh relung tak berjiwa
seandainya kau datang
mengetuk pintu malam-malamku
mungkin akan kudengar seperti hujan
memainkan sepenggal komposisi
tentang sepucuk rosmari mati di taman sunyi
singgahlah kau malam ini
layaknya rindu tengah berduri menjelma di sini
kunanti hujan yang (mungkin) tak kembali
2008
(Abimardha Kurniawan)
Sematkan Sepucuk Tangismu
sematkan sepucuk tangismu di antara lembayung
langit sore, di antara tajam surya warna tembaga
antara kubah awan yang rapuh
menggayuti tinggi lazuardi.
bila memang harus tangis yang (mesti) terurai,
uraikan ia, bahasakan ke seluruh penjuru
ucapkan bersama angin
yang tiba dan berkelana
yang menyapa setiap sunyi manusia
sematkan sepucuk tangismu
sematkan di sela daun, kuncup
di sela ranting yang merindu bayu
di sela hutan, di taman-taman keheningan
sematkan sepucuk tangismu
serukan ke arah langit
agar langit membacanya
serukan ke lubuk bumi
agar bumi setia memeramnya
mungkin dalam tangismu,
tersimpan tangis semesta:
tangis sederhana
yang jatuh berduka
meski tanpa airmata.
2008
(Abimardha Kurniawan)
langit sore, di antara tajam surya warna tembaga
antara kubah awan yang rapuh
menggayuti tinggi lazuardi.
bila memang harus tangis yang (mesti) terurai,
uraikan ia, bahasakan ke seluruh penjuru
ucapkan bersama angin
yang tiba dan berkelana
yang menyapa setiap sunyi manusia
sematkan sepucuk tangismu
sematkan di sela daun, kuncup
di sela ranting yang merindu bayu
di sela hutan, di taman-taman keheningan
sematkan sepucuk tangismu
serukan ke arah langit
agar langit membacanya
serukan ke lubuk bumi
agar bumi setia memeramnya
mungkin dalam tangismu,
tersimpan tangis semesta:
tangis sederhana
yang jatuh berduka
meski tanpa airmata.
2008
(Abimardha Kurniawan)
Rengsa Hujan
/1./
dan aku tandai detik-detik kejatuhan ini
sebagai hujan dini hari
esok, temukan tanda kehancuran yang sarat
memadat di cekung mataku
dan mungkin hidup akan jadi sebentuk kiasan
yang enggan didendangkan hujan
di luar kamar
kudengar orkes hujan menabuh udara pagi
butiran basah yang luruh melumuri tanah
kelak kusampaikan sebagai hadiah
bagi bumi
yang mengigau
oleh desau dan risau angin kemarau
/2./
dalam perjalanan tanpa isyarat
kurindu engkau datang membangun tahun kenangan
laiknya kematian yang disempurnakan hujan
segala simpang yang kupandang
hanya berdiang mendekap lengang
bila coba kubaca
ke laut mana setapak ini berakhir
—tiada nafas yang bergegas, amukan buas
badai musim panas, atau sayap angin
yang menuntun ranting getas beranjak lepas
tapi ini perjalanan hampa
dengan arah mimpi
serta bubuk kenangan yang menguap sia-sia
2007
(Abimardha Kurniawan)
dan aku tandai detik-detik kejatuhan ini
sebagai hujan dini hari
esok, temukan tanda kehancuran yang sarat
memadat di cekung mataku
dan mungkin hidup akan jadi sebentuk kiasan
yang enggan didendangkan hujan
di luar kamar
kudengar orkes hujan menabuh udara pagi
butiran basah yang luruh melumuri tanah
kelak kusampaikan sebagai hadiah
bagi bumi
yang mengigau
oleh desau dan risau angin kemarau
/2./
dalam perjalanan tanpa isyarat
kurindu engkau datang membangun tahun kenangan
laiknya kematian yang disempurnakan hujan
segala simpang yang kupandang
hanya berdiang mendekap lengang
bila coba kubaca
ke laut mana setapak ini berakhir
—tiada nafas yang bergegas, amukan buas
badai musim panas, atau sayap angin
yang menuntun ranting getas beranjak lepas
tapi ini perjalanan hampa
dengan arah mimpi
serta bubuk kenangan yang menguap sia-sia
2007
(Abimardha Kurniawan)
Trawas, 2
jajaran cahaya jingga pada tanjakan jalan
seperti tangga cahaya melepas doa
ke pucuk bukit hingga ke altar langit
sambil lagukan madah, meniru api lilin
dalam dekap tangan peziarah
jika kabut pun turun mengunyah kampung
dan tegalan, aku ingin bertasbih
sambil memetik pelajaran
dari basah yang diusapkan ke rambut malam
sebelum kukibarkan ingatan lepas ke jantung bulan
— menjaga cahaya yang jatuh
menyentuh punggung dedaunan
maka sempurnalah segala
— malam memandikan rinduku
dengan sunyi dan dzikir penuh lagu
2007
(Abimardha Kurniawan)
seperti tangga cahaya melepas doa
ke pucuk bukit hingga ke altar langit
sambil lagukan madah, meniru api lilin
dalam dekap tangan peziarah
jika kabut pun turun mengunyah kampung
dan tegalan, aku ingin bertasbih
sambil memetik pelajaran
dari basah yang diusapkan ke rambut malam
sebelum kukibarkan ingatan lepas ke jantung bulan
— menjaga cahaya yang jatuh
menyentuh punggung dedaunan
maka sempurnalah segala
— malam memandikan rinduku
dengan sunyi dan dzikir penuh lagu
2007
(Abimardha Kurniawan)
Trawas, 1
malam memencil di sudut mei. hawa
menggigilkan bulan. keremangan unggas
yang melintas, bahkan bumbung capung
tiada berhinggap
selepas bukit dan pohonan dibekap lindap
kunikmati nafas air, embun beludru
dan kata-kata berdiri
di tengah sunyi dan batu-batu
sungguh, betapa megah senja berlagu
sisik awan luruh menggerimis
dengan bunyi ritmis nan sakit
cuaca pun merabun — lalu bangkit
— dibungkus kabut dari selatan bukit
kunikmati sunyi kabut ini, setelah cahaya
dan rumputan tiarap di bawah gelap
yang sempurna
2007
(Abimardha Kurniawan)
menggigilkan bulan. keremangan unggas
yang melintas, bahkan bumbung capung
tiada berhinggap
selepas bukit dan pohonan dibekap lindap
kunikmati nafas air, embun beludru
dan kata-kata berdiri
di tengah sunyi dan batu-batu
sungguh, betapa megah senja berlagu
sisik awan luruh menggerimis
dengan bunyi ritmis nan sakit
cuaca pun merabun — lalu bangkit
— dibungkus kabut dari selatan bukit
kunikmati sunyi kabut ini, setelah cahaya
dan rumputan tiarap di bawah gelap
yang sempurna
2007
(Abimardha Kurniawan)
Ungu Umu
ada gumam cuaca
gegas menimpa pucuk cemara.
ada desir tak terpahami, di sini
siapa pun berjalan, membawa nyawa
atau sekedar menjala suara
dari jejak hampa dan gerak udara
di sendu matamu, umu
bulan getas melintas, trawas mengeras
dihantui nyanyi serangga musim panas.
semua menjelma ruang
dimana nafas mengenal sepintas
riwayat garis batas
jauh di luar vila, lampu-lampu menyala
walau kabut enggan melikat,
gerimis tersumbat gigil yang pekat.
bersama ungu senyummu, cuaca merabun,
lalu turun, berjajar, dan terlantar
di selasar pagar pudar membelukar
namun, demi gumam lanskap cuaca
siapa pun terasa cela ‘tuk datang mencinta
setelah udara sesak cerita
tentang bunga angsana dan duri akasia
yang kau simpan di selubung jiwa
2007
(Abimardha Kurniawan)
gegas menimpa pucuk cemara.
ada desir tak terpahami, di sini
siapa pun berjalan, membawa nyawa
atau sekedar menjala suara
dari jejak hampa dan gerak udara
di sendu matamu, umu
bulan getas melintas, trawas mengeras
dihantui nyanyi serangga musim panas.
semua menjelma ruang
dimana nafas mengenal sepintas
riwayat garis batas
jauh di luar vila, lampu-lampu menyala
walau kabut enggan melikat,
gerimis tersumbat gigil yang pekat.
bersama ungu senyummu, cuaca merabun,
lalu turun, berjajar, dan terlantar
di selasar pagar pudar membelukar
namun, demi gumam lanskap cuaca
siapa pun terasa cela ‘tuk datang mencinta
setelah udara sesak cerita
tentang bunga angsana dan duri akasia
yang kau simpan di selubung jiwa
2007
(Abimardha Kurniawan)
Minggu, 11 April 2010
Wordless
tiga detak doa
mengantar bebeurung renta
pulang ke sangkar sorga
Surabaya, 7 Juni 2009
(Abimardha Kurniawan)
mengantar bebeurung renta
pulang ke sangkar sorga
Surabaya, 7 Juni 2009
(Abimardha Kurniawan)
Di Sore Secerah Ini
di sore secerah ini
kau sendirian berkawan hujan
tiada satu kemalangan pun menimpamu
meski kau pagari keranda rindumu
dengan airmata yang terlanjur beku
Surabaya, 3 Juni 2009
(Abimardha Kurniawan)
kau sendirian berkawan hujan
tiada satu kemalangan pun menimpamu
meski kau pagari keranda rindumu
dengan airmata yang terlanjur beku
Surabaya, 3 Juni 2009
(Abimardha Kurniawan)
Selasa, 06 April 2010
Masih Tentang Hujan
yang melebat dalam senyummu
hanyalah waktu, juga rericik tak terdengar
dari belantara jauh
Surabaya, 2009
(Abimardha Kurniawan)
hanyalah waktu, juga rericik tak terdengar
dari belantara jauh
Surabaya, 2009
(Abimardha Kurniawan)
Senin, 05 April 2010
Untitled, 7
hallo tuan foucault
ini ada sejarah sedang berulah
: mohon lekas datang kemari
ke rumah penghuni biadab ini
mari, mari, mari...
(diam-diam, kau hapus judul puisi ini
dan kau beri satu tanda sunyi
yang aku pun tak tahu
di mana ada tanda itu)
Surabaya, 23 April 2009, 08:05
(Abimardha Kurniawan)
ini ada sejarah sedang berulah
: mohon lekas datang kemari
ke rumah penghuni biadab ini
mari, mari, mari...
(diam-diam, kau hapus judul puisi ini
dan kau beri satu tanda sunyi
yang aku pun tak tahu
di mana ada tanda itu)
Surabaya, 23 April 2009, 08:05
(Abimardha Kurniawan)
Minggu, 04 April 2010
Untitled, 6
sebentar saja, renyah cerita ringanmu memisahkan daun dari hujan
teh dalam gelas yang cuil bibirnya, terlalu lama bungkam
:mengasingkan diri dari catatan suhu yang hangat
ah, andai saja alkohol merah termometermu mampu meraba
demamnya
tapi, tiba giliranku menunggu kini di warung kaki lima langgananku
tanpa kretek sigaret, buku catatan, pensil kayu yang ujungnya rapuh
oleh gigitanmu. apa musti kuberi judul puisi ini biar tak terbakar sunyi?
atau judul-judul itu malah menggunduli sunyiku sendiri?
ah, barangkali kau temu jawabnya
sehabis tuntas kau baca puisi tanpa judul ini...
Surabaya, 22 April 2009
(Abimardha Kurniawan)
teh dalam gelas yang cuil bibirnya, terlalu lama bungkam
:mengasingkan diri dari catatan suhu yang hangat
ah, andai saja alkohol merah termometermu mampu meraba
demamnya
tapi, tiba giliranku menunggu kini di warung kaki lima langgananku
tanpa kretek sigaret, buku catatan, pensil kayu yang ujungnya rapuh
oleh gigitanmu. apa musti kuberi judul puisi ini biar tak terbakar sunyi?
atau judul-judul itu malah menggunduli sunyiku sendiri?
ah, barangkali kau temu jawabnya
sehabis tuntas kau baca puisi tanpa judul ini...
Surabaya, 22 April 2009
(Abimardha Kurniawan)
Sabtu, 03 April 2010
Untitled, 5
ini kamar lunas kumiliki sendiri
aneh tapi, rasa-rasanya, aku
hanya seorang pelancong kosong
Surabaya, 20 April 2009
(Abimardha Kurniawan)
aneh tapi, rasa-rasanya, aku
hanya seorang pelancong kosong
Surabaya, 20 April 2009
(Abimardha Kurniawan)
Kamis, 01 April 2010
Untitled, 4
namun, sebelum meranum gurat tirus di tepi senyummu,
akan kuceritakan tentang minibus yang diparkir sendirian
di seberang jalan
bukankah itu kesunyian juga, naila?
Surabaya, 19 April 2009
(Abimardha Kurniawan)
akan kuceritakan tentang minibus yang diparkir sendirian
di seberang jalan
bukankah itu kesunyian juga, naila?
Surabaya, 19 April 2009
(Abimardha Kurniawan)
Langganan:
Postingan (Atom)