Senin, 22 Februari 2010

Resistensi: Medan Penafsiran Teks Intersubjektif

Pada tataran tertentu, resistensi bisa dilihat dari dua sisi yang saling berhadapan, yaitu dari sisi produsen dan konsumen teks. Dari sisi produsen teks, resistensi bisa melalui sebuah proses yang disengaja, dimodifikasi, guna terciptanya teks baru yang sifatnya melawan teks dominan.

Pada sisi ini, resistensi merupakan suatu hal yang betkaitan dengan ideologi produsen dalam menyikapi wacana dominan. Perlu digarisbawahi, teks dominan merupakan wacana dominan yang berhasil ditangkap produsen dan bisa mengimplikasikan resistensi.

Jadi, sesungguhnya terjadi keterbatasan frame untuk melihat realitas. Namun, karena yang menjadi objek resistensi begitu dominannya, sehingga dalam setiap ruang gerak pembacaan produsen (atau lebih tepatnya “calon produsen”) yang muncul hanya wacana yang itu-itu saja. Kejumudan pun terjadi. Maka resistensi dimunculkan.

Atau jika bersandar pada kaidah filsafat (yang mapan atau termapankan), calon produsen berusaha mengamati lebih jauh, bukan hanya realitas empirik yang nampak kebanyakan, tapi sampai menyentuh kausalitas yang komprehesif. Dominasi sebuah wacana pasti ada penyebab historisnya.

Entah, penyebab itu berada pada diri si penganut wacana dominan, atau si penggerak yang membuat suatu wacana terdominasikan, atau juga interpretasi pembaca. Ketaklengkapan pandangan terhadap hal-hal tersebut akan menimbulkan ketimpangan dan polemik berkepanjangan. Seperti ketika budaya pop disikapi oleh dua mazab yang berbeda, yaitu mazab Frankfurt yang memprioritaskan manipulasi makna dalam proses produksi budaya pop, yang mau tidak mau menyeret produsen budaya sebagai sentral kajian.

Sedang “kaum multidimensional”, Cultural Studies, juga melibatkan peran konsumen yang mereka anggap tidak semata-mata pasif, tetapi aktif dalam proses impor maka. Lantas, siapa yang harus dipersalahkan, hingga muncul suatu wacana dominan? Tentu, bagi kaum fenomenologis pasti akan diserahkan kepada fenomena yang terjadi, dan tergantung pada konteks-situasionalnya. Jika demikian, perlu penelusuran historis agen-agen yang terlibat dalam ekologi teks.

Begitu pula, pada sisi resistensi (dalam hal ini “resistensi” berada pada wujud anggapan atau interpretasi terhadap teks yang dianggap melawan) pembaca teks. Selain tegantung pada muatan teks, para pembaca teks-teks produk kaum resist perlu dicermati secara historis. Hal ini terkait dengan justifikasi yang mereka jatuhkan terhadap sebuah teks hingga teks itu punya label “melawan”.

Dan itu punya latar belakang yang membuat proses interpretasi menjadi tidak bersih. Aplikasi teori kerap menjadi titik singgungnya. Teori-teori dan ideologi-ideologi “impor” yang “meracuni” dan membentuk frame pemikiran pembaca tentu tidak bisa diabaikan, di samping latar akademis, usia, dan posisi sosial pembaca. Sehingga, pelegitimasian itu terkesan teoritis dan ideologis.

Atau dengan kemungkinan lain, pembaca melakukan proses pembacaan dan interpretasi, yang ia akui sebagai independensi cara berpikirnya. Tapi dalam proses pembacaan dan interpretasi yang lain, dengan subyek lain yang menanggapi teks atau wacana baru hasil justifikasi tersebut, bisa ditemukan sebuah bentuk adopsi terhadap teori tertentu. Apakah ini merupakan sebuah titik temu, atau malah berlanjut dengan egoisme sepihak, atau juga “dicap” tidak luas dan luwes membaca sejarah? Entahlah.

Hal tu pun bisa ditilik dari pembaca teks sub-altern (resisten) tersebut, juga sejarahnya. Nantinya, latar belakang akademis pembaca perlu dipermasalahkan, sebab hal ini (mau tidak mau) berpengaruh pada sikapnya. Yang jelas justifikasi itu terkadang merembes ke arah subyektifitas pembaca, dan obyektifitasnya (bisa) diragukan. Mungkin, sesuatu yang obyektif adalah sesuatu yang empirik dan bisa meyatukan konsep pembacaan intersubyektif secara heuristik, meski entah secara hermeneutik.


(Abimardha Kurniawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar