Kamis, 27 Mei 2010

Apakah Sama Rinduku dan Rindumu

apakah sama rinduku dan rindumu
tatkala dian meredup
kamar beranjak samar
juga dinihari mendekati suluh pagi?

apakah menyatu derit rinduku dalam pintu rindumu
tatkala kau ingin beranjak merentang jarak
meski tiada sirna seluruh jejak
yang tak sengaja kau gurat pada lentai retak
— setapak demi setapak?

apakah sama rinduku dan rindumu
tatkala tiada singgah kereta di stasiun kota
— meski sementara,
sebab sunyi tak memberi kesempatan
untuk kita, sekedar lambaikan tangan


2007



(Abimardha Kurniawan)

Halaman Belakang Rumah

di bawah asuhan musim dan waktu
bunga-bunga mungil menguning

hijau semu daun-daun luruh kembali
menyatu ke pelukan resah warna tanah

tapi, bilakah hujan lewat di situ?

betapa lembut angin memainkan butir cahaya
seperti pantulan bulan pada cermin air

dan kerak lumut masih tegar menyandar setia
ke dinding bata yang rapuh dan menua

memang, semua bisa berlalu tanpa kata
menguap sedemikian rupa

namun bukan bagi sepetak halaman
yang sunyinya menyentuh dasar ingatan


2007



(Abimardha Kurniawan)

Kubangan

ada kubangan tertimbun pasir
kau menatapnya dengan was-was
dengan hujan selintas
dari mata — dan menetas
menitahkan basah ke pori-pori tanah

seakan dulu pernah tanggal helaian waktu
dan kau tinggalkan di ceruk kubangan itu
sampai membatu

kau pun merentang jejak berlari lagi menari-nari
kau sunggi usang kesilaman tak berjejak
— setelah kau retas, kau tisik kembali
serentang jalan setapak

dalam bayang-bayang gerimis
kau tatap kubangan penampung air
bayang-bayangmu mengalir
di antara bayang-bayang gerimis
cahaya tersamar, berangsur ke wujud pudar

dan masih kau tatap kubangan itu
kemudian hujan menderas dari sudut matamu...


2006



(Abimardha Kurniawan)

Januari

/1./

sejumput ketukan di sisi langit memejamkan matahari
januari membuka gaun, segera kita lari
memungut gugur daun.

“rambutmu basah oleh desember.
tak puaskah engkau larut jadi serpih
yang berayun di ranting masa lalu?”

namun, bukankah kita selalu terjaga dalam bahasa
atau riuh mengembara: serupa suara,
serupa barisan hujan yang luruh satu persatu di kaca jendela.

“dan kita mengenangnya?”

entahlah.

tapi kita tetap bertutur
meski gelap membayangi bahasa yang kita sapa.
kita tuang saja ke dalam gelas aksara
atau kekosongan kata.

“duh, sungguh jauh madahmu itu
seakan tiada kesungguhan dalam ucapan,
tiada kepastian mengalir hingga ujung bulan.
bukankah penantian adalah ihwal kekosongan
yang lama kita impikan
yang sama kita lagukan?”

entahlah...


/2./

coba mainkan musik. genapi nada yang belum terbaca.
jangan kau biarkan malam merusak taman
taman yang kau buat di rongga dada,
di tengah istana cuaca, atau di setiap pagar beranda.

tidakkah kau temukan apa yang membuat kita terbata berkata
serupa boneka. mungkin saja sebentuk penaggalan kita susun
tanpa alur, hanya kecemasan yang coba kita kuburkan
di liang masa depan.

“muskil! sungguh muskil sebuah cemas kau kemas
di lenguh tubuh hampir lemas!”

ah, entahlah.


/3./

maka kudaraskan puisi ini jauh di garis dinding
yang patah menjelma cakrawala — sebuah tiada,
sebuah jengah yang terus merambati ruang tersisa.

tapi, bukalah pintu. biarkan udara segar melayap ke rongga badanmu
lalu membangun sepetak ruang baru di jantungmu. mulailah,
bergegaslah berlari sepanjang pematang yang nampak lengang.
meski semenjak dulu kau pun tahu

tiada arah untuk langkahmu di situ...


2007



(Abimardha Kurniawan)

Serenada Ulang Tahun

—Iza Zuniawan

/1./

berucap dalam tahun-tahun berdebu
lirih sendumu mengemas doa burung gereja.

waktu pun berbisik
usia tak seungu mendung bulan juni
atau arakan awan yang berjalan
mewariskan hujan demi hujan
di sudut darat dan lautan

maka demi apa pun yang berlalu
kueja jua nama yang kau puja
— huruf demi huruf,
kata demi kata


/2./

pagi ini, kudengar bisik angin
yang meliuk di sela ranting
tiada henti dan selalu
mendoakan keselamatanmu

aku mengerti
ini pagi keempatbelas yang melintas
sepanjang sunyi bulan juni


2007



(Abmardha Kurniawan)

Dif...

ketakjuban mimpi pada kibaran halus kerudungmu
layaknya bunga-bunga ceri mempercayai pagi
yang memaksa gairah bumi
jadi semerah pipi musim semi


2006



(Abimardha Kurniawan)

Matahari di Balik Jendela

inikah kesunyian itu
— kelambu yang terus tertutup
dan kian menghalang pandang?

aku berbaring dan lelap tertidur
di antara dua dunia
di antara ada dan tiada,
seperti matahari...

arah mata yang lepas
menjelma burung bersayap hancur
terbang meniti lidi cahaya,
menembus kerap kasa kelambu,
menuju matahari
yang berkubang di kawah luka.


ya, akulah bocah yang selalu tidur
sambil menggambar butir airmata
milik matahari, di atas kumal kertas
yang kupungut dari sungai mimpi


2007



(Abimardha Kurniawan)