Senin, 22 Februari 2010

Di Hadapan Ucap Selamat Jalan

di hadapan ucap selamat jalan
bunga rumput letih
tak menjanjikan warna
bahkan kepada pagi
yang kerap dikunjunginya

"subuh menguapkan ceritamu, kawan
tapi langit merendah kemudian
sekedar memberimu secawan teh dan kehangatan
kawan seperjalananmu
kembali menuju rahim ibu waktu

: ya, ibu yang selamanya kekal itu..."


Surabaya, 5 april 2009, 14:31


(Abimardha Kurniawan)

Resistensi: Medan Penafsiran Teks Intersubjektif

Pada tataran tertentu, resistensi bisa dilihat dari dua sisi yang saling berhadapan, yaitu dari sisi produsen dan konsumen teks. Dari sisi produsen teks, resistensi bisa melalui sebuah proses yang disengaja, dimodifikasi, guna terciptanya teks baru yang sifatnya melawan teks dominan.

Pada sisi ini, resistensi merupakan suatu hal yang betkaitan dengan ideologi produsen dalam menyikapi wacana dominan. Perlu digarisbawahi, teks dominan merupakan wacana dominan yang berhasil ditangkap produsen dan bisa mengimplikasikan resistensi.

Jadi, sesungguhnya terjadi keterbatasan frame untuk melihat realitas. Namun, karena yang menjadi objek resistensi begitu dominannya, sehingga dalam setiap ruang gerak pembacaan produsen (atau lebih tepatnya “calon produsen”) yang muncul hanya wacana yang itu-itu saja. Kejumudan pun terjadi. Maka resistensi dimunculkan.

Atau jika bersandar pada kaidah filsafat (yang mapan atau termapankan), calon produsen berusaha mengamati lebih jauh, bukan hanya realitas empirik yang nampak kebanyakan, tapi sampai menyentuh kausalitas yang komprehesif. Dominasi sebuah wacana pasti ada penyebab historisnya.

Entah, penyebab itu berada pada diri si penganut wacana dominan, atau si penggerak yang membuat suatu wacana terdominasikan, atau juga interpretasi pembaca. Ketaklengkapan pandangan terhadap hal-hal tersebut akan menimbulkan ketimpangan dan polemik berkepanjangan. Seperti ketika budaya pop disikapi oleh dua mazab yang berbeda, yaitu mazab Frankfurt yang memprioritaskan manipulasi makna dalam proses produksi budaya pop, yang mau tidak mau menyeret produsen budaya sebagai sentral kajian.

Sedang “kaum multidimensional”, Cultural Studies, juga melibatkan peran konsumen yang mereka anggap tidak semata-mata pasif, tetapi aktif dalam proses impor maka. Lantas, siapa yang harus dipersalahkan, hingga muncul suatu wacana dominan? Tentu, bagi kaum fenomenologis pasti akan diserahkan kepada fenomena yang terjadi, dan tergantung pada konteks-situasionalnya. Jika demikian, perlu penelusuran historis agen-agen yang terlibat dalam ekologi teks.

Begitu pula, pada sisi resistensi (dalam hal ini “resistensi” berada pada wujud anggapan atau interpretasi terhadap teks yang dianggap melawan) pembaca teks. Selain tegantung pada muatan teks, para pembaca teks-teks produk kaum resist perlu dicermati secara historis. Hal ini terkait dengan justifikasi yang mereka jatuhkan terhadap sebuah teks hingga teks itu punya label “melawan”.

Dan itu punya latar belakang yang membuat proses interpretasi menjadi tidak bersih. Aplikasi teori kerap menjadi titik singgungnya. Teori-teori dan ideologi-ideologi “impor” yang “meracuni” dan membentuk frame pemikiran pembaca tentu tidak bisa diabaikan, di samping latar akademis, usia, dan posisi sosial pembaca. Sehingga, pelegitimasian itu terkesan teoritis dan ideologis.

Atau dengan kemungkinan lain, pembaca melakukan proses pembacaan dan interpretasi, yang ia akui sebagai independensi cara berpikirnya. Tapi dalam proses pembacaan dan interpretasi yang lain, dengan subyek lain yang menanggapi teks atau wacana baru hasil justifikasi tersebut, bisa ditemukan sebuah bentuk adopsi terhadap teori tertentu. Apakah ini merupakan sebuah titik temu, atau malah berlanjut dengan egoisme sepihak, atau juga “dicap” tidak luas dan luwes membaca sejarah? Entahlah.

Hal tu pun bisa ditilik dari pembaca teks sub-altern (resisten) tersebut, juga sejarahnya. Nantinya, latar belakang akademis pembaca perlu dipermasalahkan, sebab hal ini (mau tidak mau) berpengaruh pada sikapnya. Yang jelas justifikasi itu terkadang merembes ke arah subyektifitas pembaca, dan obyektifitasnya (bisa) diragukan. Mungkin, sesuatu yang obyektif adalah sesuatu yang empirik dan bisa meyatukan konsep pembacaan intersubyektif secara heuristik, meski entah secara hermeneutik.


(Abimardha Kurniawan)

Klaim Prestasi Iklan Partai

Kampanye merupakan semacam seremoni open house bagi partai-partai peserta Pemilu 2009 yang lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan itu, visi misi partai bisa didengungkan kepada masyarakat luas. Segala bentuk persuasi dilancarkan guna merengkuh simpati publik. Stigma positif dalam benak publiklah yang kemudian ditempatkan sebagai conditio sine qua non, alias syarat mutlak. Entah apakah bentuk simpati itu layak secara kualitas atau hanya sebatas kuantitas.


Meski KPU menetapkan secara resmi bahwa kampanye Pemilu 2009 (dengan pengerahan massa) baru dilaksanakan pada bulan Maret, namun “obral” citra telah berlangsung beberapa bulan sebelumnya. Salah satu yang semarak adalah bermunculannya iklan partai. Retorika politik seakan leluasa diterapkan oleh partai kontestan melalui media tersebut.


Perang citra mulai ditabuh genderangnya. Ada yang menganggapnya “curi-curi start” kampanye. Ada pula menganggap hal itu wajar selama batas-batas tidak dilanggar. Selain itu, melihat kondisi yang ada, masa kampaye Pemilu 2009 tergolong yang terpanjang. Inilah keragaman opini sebagai “efek samping” pemunculan iklan partai.


Masa Lalu dan Masa Depan

Salah satu partai besar yang berhasil menngusung dan mendudukkan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pada puncak tampuk kepemimpinan dalam Pemilu 2004, mengutarakan klaim prestasi dalam iklan partainya. SBY yang menjadi figur sentral partai itu, dianggap telah memecahkan masalah ekonomi paling sensitif di negeri ini, yaitu harga bahan bakar minyak (BBM). SBY dianggap telah berhasil menurunkan harga BBM sebanyak tiga kali selama masa pemerintahannya. Itulah modal awal partai ini melancarkan persusasi.


Tapi, ada pertanyaan muncul, apakah itu benar-benar murni sebuah kebijakan domestik SBY? Bisa ya, bisa juga tidak. Jawaban “ya” karena melihat posisi SBY sebagai presiden negeri ini yang mempunyai kendali atas kebijakan-kebijakan domestik. Sementara jawaban “tidak”, berhubungan dengan isu dan kondisi fluktuasi perekonomian global.


Fluktuasi harga minyak dunia nampaknya menjadi kendaraan yang efektif. Sebagai penentu kebijakan tentunya hal itu menjadi pertimbangan penting, di samping motif-motif politik kebijakan tersebut pada akhirnya memicu munculnya kata “jangan-jangan” dari sejumlah pengamat. Jadi kalaupun SBY mengeluarkan kebijakan untuk menurunkan harga minyak, hal itu sudah seyogyanya dilakukan. Toh publik juga telah memperoleh akses yang mudah menyangkut fluktuasi harga minyak dunia.


Pada tanggal 24 Mei 2008, kenaikan harga BBM terjadi di negeri ini. Demonstrasi mahasiswa merebak untuk mengecam kebijakan tersebut. Muncul kekhawatiran publik hal itu akan memicu efek domino pada harga-harga kebutuhan pokok lain. Lantas, pemerintah “berdalih” dengan bertameng fluktuasi harga minyak dunia dan pengalihan (atau minimalisasi) subsidi BBM untuk pendidikan.


Itulah sebabnya salah satu survei membuktikan bahwa menaikkan harga BBM menjadi kebijakan Presiden SBY yang paling tidak memihak publik, alias tidak populis. Tentunya masih ada kebijakan-kebijakan di sektor lain yang juga kurang memuaskan publik. Pertanyaannya: apakah klaim-klaim prestasi masih perlu berlanjut, mengingat perekonomian global punya pengaruh besar pada kebijakan-kebijakan yang ada?


Klaim semacam itu tidak hanya dilancarkan partai yang dimotori SBY, ada partai lain dengan manuver serupa. Dengan mencitrakan anggota-anggota partainya yang duduk di parlemen, bahkan salah satunya menjadi ketua, partai tersebut melontarkan isu APBN yang menjadi wewenang legislatif. Apalagi dalam Pemilu 2004 partai ini muncul sebagai pemenang.


Ekskalasi prosentase jumlah anggaran pendidikan dan isu swasembada beras digembungkan menjadi wacana persuasif yang penting. Sekali lagi, pencapaian-pencapaian itu terjadi di masa lalu, disaat aparat partai itu masih aktif di lembaga formal kenegaraan (baca: DPR). Namun, apakah figur-figur merupakan yang (atau paling) representatif perannya dalam lembaga yang dimaksud? Bukankah lembaga publik semacam DPR bukan dikooptasi beberapa kepala saja, melainkan ada banyak kepala dari fraksi yang jamak? Atau bahkan, sudahkah aspirasi publik diakomodir secara komprehensif dan menjadi motor penggerak utama?


Jangan-jangan hanya sebagian saja atau dipilih prestasi-prestasi yang sekiranya punya efek nilai lebih bagi citra partai. Sementara masalah-masalah lainnya tak pernah disentuh, khususnya yang anggota partainya tidak punya prestasi di dalamnya. Selain itu, kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi apakah pernah ditengok untuk kemudian diwacanakan sebagai isu internal partai, bahkan publik?


Tidak sekedar mengambil dua contoh partai di atas, banyak pula partai yang coba mengekploitasi prestasi-prestasi “masa lalu” untuk kemudian diwacanakan sebagai stimulus publik. Isu-isu yang menyangkut kebutuhan vital masyarakat (seperti harga BBM, pendidikan, masalah pangan, dan kebutuhan pokok lainnya) masih dianggap sexy oleh partai-partai peserta Pemilu 2009. Jika suatu partai tidak punya prestasi yang riil pada isu-isu itu karena tidak memiliki anggota yang menjadi figur representatif dalam lembaga pemerintahan, maka yang menjadi amunisi adalah janji “masa depan” yang lebih baik. Sekali lagi, isu-isu vital yang menyangkut hajat hidup masyarakat tetap mengemuka.


Dengan klaim jasa dan prestasi, setidaknya, partai-partai akan terjebak dua kutub waktu, yaitu “masa lalu” dan “masa depan”. Menilik fungsinya, klaim jasa itu justru akan menjadi janji sebuah partai juga pada akhirnya. Dengan mewacanakan prestasi “masa lalu” ke hadapan publik, minimal prestasi itu musti terulang di “masa depan”. Di sini, antara “masa lalu” dan “masa depan” saling berjalin-kelindan dan bisa disebut sebagai konsekuensi logis.


Mengingat pemilu adalah suatu media, bukan tujuan, untuk mendudukkan seorang pemimpin bangsa dan wakil rakyat, klaim-klaim itu bisa menjadi bumerang bagi partai yang bersangkutan. Terutama jika prestasi-prestasi itu tidak terulang di periode selanjutnya saat anggota partai kembali menduduki jabatan-jabatan penting (puncak) dalam hirarki formal lembaga kenegaraan. Dengan demikian, suatu prestasi “masa lalu” bisa jadi tidak relevan di “masa depan”.


Tulisan ini tidak ditujukan untuk mendiskreditkan partai-partai kontestan Pemilu 2009. Namun, selayaknya klaim itu ditempatkan sesuai porsinya, khususnya sebagai media pembelajaran tentang kearifan berpolitik. Agaknya tidak perlu mencampur-adukkan antara kondisi politik-ekonomi global dan nasional yang fluktuatif, atau prestasi secara kelembagaan formal, dengan prestasi yang benar-benar murni dari individu elemen partai. Jika demikian, kepada siapa layaknya publik berterimakasih?


Mempermainkan harapan publik memang bukan sesuatu yang bijak. Apalagi yang menyangkut ranah-ranah vital dan sensitif bagi publik. Hati rakyat Indonesia bagai mentari, betapapun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi, demikian kata Kipandjikusmin dalam cerpen kontroversialnya: Langit Makin Mendung. Publik tak butuh iklan, tapi perbaikan nasib di masa depan.


Surabaya, 10 Pebruari 2009



(Abimardha Kurniawan)

Minat Berkarya dan Ruang Apresiasi

Ketika disodori tema diskusi kali ini, yaitu “meningkatkan minat berkarya dalam ruang sastra”, saya membayangkan tentang sesuatu yang bisa membuat orang tertarik untuk menulis karya sastra, entah itu puisi, prosa, drama, ataupun esai apresiasi-kritik. Ada kesan pamrih di sini. Dalam artian, sastra harus memberi sesuatu kepada orang yang mau berkecimpung di dalamnya.


Itu sekedar anggapan temporal saya saja. Saya yakin, bukan sikap pamrih yang handak dituangkan dalam tema ini, melainkan motivasi untuk mendekati dan masuk ke dalam ruang sastra. Sesuatu yang positif. Sastra butuh aparat penggerak demi kelangsungan hidupnya, khususnya dari segi kepenulisan atau produksi karya.


Ada baiknya kita menilik pendapat Acep Zamzam Noor dalam sebuah wawancara dengan surat kabar nasional. Ia berkata bahwa jangan terlalu berharap hidup dari puisi (baca: sastra), namun bagaimana cara kita menghidupi puisi. Pendapat ini disampaikan ketika ia mengalami sebuah situasi yang membuat sastra begitu mahal di matanya.


Ia paham betul terhadap kerja sastranya secara pribadi. Menurutnya, honor ketika puisinya dimuat di media, tidak sebanding dengan “biaya” yang harus ia keluarkan bila menulis puisi. Menulis puisi, baginya, butuh waktu lama dan bisa menghabiskan rokok berbungkus-bungkus.


Meski tidak dengan maksud menggeneralisir kerja setiap pengarang, pendapat Acep di atas menyiratkan semacam pesan bahwa sebaiknya sastra didekati dari hal-hal material. Namun, sastra perlu didekati dari sastra itu sendiri. Nampak juga di sini, seorang Acep telah menemukan “ruangan” pribadinya dalam ruang sastra. Mungkin ia telah berasyik-masuk. Banyak hal yang tidak ia temui di dunia riil, ia temukan dalam puisi (baca: sastra).


Inilah yang membuat sastra hidup dan ditulis orang hingga kini dan (mungkin) sampai nanti. Banyak pengarang yang menjadikan sastra sebagai sarana ungkap bagi gagasannya, entah itu yang berkaitan langsung dengan karya sastra itu sendiri ataupun lingkungan sosialnya. Bagi mereka, sastra adalah sesuatu yang menarik sekaligus punya kekuatan berbeda.


Lantas apakah perjalanan sebuah karya sastra berhenti dari segi penciptaan (penulisan) saja? Atau kalau pun ia dibaca, hanya menjadi konsumsi penulisnya? Sebenarnya hal itu sah-sah saja, namun untuk batas-batas tertentu, dan lingkupnya sangat pribadi.


Dalam perjalannnya, sebuah karya sastra perlu diapresiasi oleh subyek yang lebih luas, tidak hanya pengarangnya. Apresiasi publik bisa dijadikan tolok ukur kualitas sebuah karya. Artinya, apakah ia bisa diterima atau tidak oleh pembacanya. Atau juga, sebuah karya bisa berinteraksi dengan subjek yang beragam latar belakangnya, dan bisa didapat pula ragam penilaian. Dari situlah, seorang pengarang bisa punya tolok ukur terhadap kualitas karyanya.


Tentunya, untuk menjangkau subyek pembaca yang luas dibutuhkan media publikasi. Media publikasi tidak hanya terbatas pada surat kabar, penerbitan buku, jurnal, dan sebagainya, tetapi juga media-media lain yang memungkinkan untuk diakses oleh pembaca yang mejemuk, internet misalnya. Bila dalam surat kabar ada “pintu-pintu” yang harus ditembus, maka saat ini sudah semakin banyak media yang dimanfaatkan oleh siapa saja, betapa pun ia seorang yang baru memulai proses kepenulisan. Dari situlah dialog nan intens dan tanpa batas bisa dimungkinkan.


Akhirnya, memang tidak ada resep yang manjur untuk menumbuhkan serta meningkatkan minat berkarya dalam ruang sastra, kecuali semakin banyak membaca, berkarya, dan tetap menjadi diri sendiri. Terima kasih. ***


(Abimardha Kurniawan)

Menulis Puisi

Menulis memang bisa dikatakan bukan perkara mudah, apalagi menulis puisi. Pada dasarnya, menulis merupakan salah satu aktivitas komunikasi dengan media bahasa. Itulah gambaran umumnya, yang tentu saja puisi termasuk di dalamnya.

Puisi, sebagaimana juga jenis sastra yang lain, dianggap sebagai aktivitas komunikasi yang tak langsung. Artinya, jenis tulisan-tulisan tersebut memiliki simbol tersendiri yang berbeda dengan simbol-simbol dalam komunikasi umumnya. Lebih-lebih puisi yang dicap sebagai penyandang esensi sastra yang paling representatif.

Ungkapan seperti itu barangkali dicetuskan oleh orang yang memiliki apresiasi tinggi terhadap puisi, bukan jenis sastra lainya semacam prosa atau drama. Kadang kala, semakin rumit proses komunikasi yang ditawarkan, maka semakin bernilai puisi tersebut. Itulah sebabnya, pernah ada sekelompok penggerak aliran seni di daratan Eropa menganggap puisi sebagai media paling pas untuk menampung ekspresi-ekspresi yang paling liar sekalipun. Sebab mereka berpandangan bahwa dalam puisi ruang (deskripsi) dan waktu (narasi) bisa dibebaskan.

Anggapan semacam itu mungkin tercetus dari pandangan yang sempit mengenai puisi, atau juga ideologi-ideologi yang mereka tawarkan dalam menyikapi puisi. Jika ditelusuri lebih jauh, banyak sekali jenis puisi yang “tak membebaskan diri” dari belenggu narasi dan deskripsi. Misalnya saja puisi epik, atau tÄ›mbang di lingkungan budaya Jawa. Puisi tidak bisa disempitkan pengertiannya, terutama jika melihat konteks perkembangannya.

Bagi seseorang yang baru menulis puisi, pandangan-pandangan formal puisi serng menjadi acuannya. Misalnya tentang rima yang harus sama di setiap akhir baris, atau jumlah suku kata yang harus seimbang. Pandangan iu tidak bisa disalahkan karena sering terjadi akibat pengetahuan bawaan. Seseorang mendapat pengetahuan tentang puisi dari guru-guru bahasa di sekolahnya. Secara tak sadar pegetahuan itu terlembaga dan menjadi acuan formal. Sekali lagi hal itu bukan kesalahan, melainkan sangat diperlukan dalam membangun pandangan-pandangan yang nantinya bisa mereka kembangkan.

Setidaknya mereka yang berangkat dari pengetahuan itu perlu mendapat “kejutan-kejutan” setelah dihadapkan dengan wacana puisi yang sangat beragam. Dari situlah, sikap mereka terhadap puisi bisa dibangun. Singkatnya, mereka sudah punya bekal untuk menapak ke wilayah-wilayah selanjutnya yang lebih beragam.

Pernah ada yang mengatakan bahwa menulis puisi, atau jenis sastra lainnya, perlu berangkat dari hal-hal yang formal dulu, bukan melompat ke wilayah kreatif yang lebih kompleks dan beragam. Sebagaimana orang yang hendak melompati pagar yang tinggi, dia harus punya anangancang dan landasan berpijak yang kuat. Ada benarnya anggapan itu. Sebab sering kali orang-orang yang melompat ke wilayah kreatif yang kompleks tersebut, terjebak ke dalam ilusi pembaruan dan penyikapan yang buta terhadap karakter tulisannya. Hal-hal seperti ini perlu dihindari agar sesorang mengetahui arti sebuah proses yang membutuhkan intensifitas.

Menulis puisi dengan intens akan membantu proses penemuan jati diri atau karakter penulisan. Tak perlu bingung jika orang-orang mencerca karya-karya kita, yang penting proses harus terus berjalan. Tentunya hal itu juga perlu diimbangi dengan penjelajahan wacana agar suatu pandangan dan sikap tidak terlampau sempit apalagi buta.

Oleh karena adanya pertimbangan komunikasi, tentu seseorang harus paham betul apa yang hendak disampaikan. Seseorang yang tidak mengetahui maksud apa yang hendak ia sampaikan melalui puisi, seperti orang hanyut di arus sungai yang deras tanpa bisa meraih pegangan agar ia selamat.

Intinya jangan berhenti menulis, khususnya puisi. Pertahankan proses yang telah dilalui agar ia terus berjalan dan berkesinambungan. Jika dihadapakan pada halangan-halangan yang menghambat dan serasa memupuskan semangat, sikap terbaik adalah memulai. Sebab memulai adalah awal untuk melangkah ke proses selanjutnya. Tanpa memulai ide-ide kreatif tak akan menjadi suatu yang nyata dan dapat diapresiasi orang lain. Mungkin ini dulu.***


(Abimardha Kurniawan)

mengapa aku tiba-tiba merasa benci bila kutuliskan judul untuk puisi yang tak puisi ini?

tak urung kau buka juga jendela kamarmu. ada sesuatu yang menunggumu. sesuatu yang kau enggan menyebutnya dalam jaga, tidur, bahkan hanya dalam angan. kau takut? kau takut bila suatu saat dia memilihmu menjadi kekasih? dia sungguh mengharapkan kehadiranmu, seperti seorang bocah menunggu uang jajan dari sang ibu. entah sejak kapan cintanya tertanam selalu untukmu. dia tetaplah dia. dia adalah sesuatu yang menunggumu dari balik jendela. tapi kau enggan menyebutnya. mungkin ia merindu-dendam ingin menemuimu dalam sebuah kencan pas-pasan di bawah purnama bulan, di atas bangku taman, dalam sebuah kesempatan yang akan dia simpan di bilik kenangan. mengapa kau sungguh membencinya? mengapa hatimu gusar bila kusebut namanya? apa dia telah mengganggumu di setiap ruang dan waktu? ya, apa sebabnya kau sungguh membenci MAUT itu....


Surabaya, 23 Juli 2009


(Abimardha Kurniawan)

Sebelum Keluar Warnet

ada keranda mengapung di udara
menghantui setiap jendela yang kau buka

"jangan lekas berlalu,
sebelum kau tutup jendelamu..."


Suarabaya, 5 mei 2009, 14:03



(Abimardha Kurniawan)

Sepasang Pengantin

/1/

pada suatu tanda bersama
kuletakkan seikat kata
yang kelak kau namai cinta

betapa keabadian tak mengikat usia
bersama hanya sepenggal masa
di mana kita berumah
setelah lelah mengayuh perahu
dan berlabuh di pantai jauh
yang dulu kita rindu

maka kita tambat sejenak perahu waktu
kita semai benih-benih janji
semoga mekar berbuah di ujung hari


/2/

dan seakan telah berlabuh seluruh waktu, kini
bersanding mesra sepasang cinta
pada tampuk dan hening gumam doa

temali rindu jadi simpul penyatu
pun juga sepasang jiwa
tiada letih menanam benih janji di ladang waktu
demi buah bahagia yang ranum dan paling matang
hingga segala senja tiba dan menjelang

semoga...



Surabaya, 2009





* NB : puisi pesanan yang "dimuat" pada undangan pernikahan seorang teman.

Selagi Andini

selagi andini merindu hujan,
hujan merindu pula
lentik doa dari ulas senyumnya.




Surabaya, 08 mei 2009, 23: 57


(Abimardha Kurniawan)


Salam

gema suara dari ceruk kesilamanku
seperti merayu malam yang terburu menutup pintu


Surabaya, 14 April 2009, 2:34


(Abimardha Kurniawan)

Gurit tanpa Irah-irahan

sejatine aku butuh tamba
kanggo njaga ukara
mrih bisa krenteg ngicip donya
nadyan urip
kasuda dening nendra

pangucapku dadi donga
aksara dadi dalan
kang njlujur sunya
uga rasa cidra njroning ludira

dhuh, gurit iki
—gurit tanpa irah-irahan
kang rekasa
nandang laku
apa kang becik pinuju


Surabaya, Juni 2007


(Abimardha Kurniawan)

Nglangi ing Suwung Ratri

nalika sajaba netra, grimis isih sumebyar
ing njroning salira, uga sukma,
mangsa ketiga ngobong gegodhong tatu
lan tapak-tapak srengenge katon dadi awu

nalika saka netra panyawangku nglangi
—nglangi ing suwung ratri,
wening sliramu isih manjing teja ludira
uga nggawa ketiga liya
kanggo ngobong srengene kang awe-awe
ing panggonku ngenam cintraka
nganti sore


Surabaya, 2006


(Abimardha Kurniawan)

Lirisisme, Patahan Sayap Kupu-kupu

setelah waktu memudar, kujumpai ajal datang melabur warna cokelat-pucat ke seluruh rumah. angin yang kulihat memusat, berarak melumuri tanah dengan bait-bait requiem tentang tenda-tenda yang dibangun hujan. aku melihatmu tertunduk di samping patahan sayap kupu-kupu. airmatamu meyerap cahaya dari timur: seakan mengharap hidup senantiasa menyala demi udara, serta kiasan yang muncul bersama halimun fana.


namun waktu terlanjur pudar, gemulai rambutmu tak menyimpan warna dan aroma bunga yang mengundang kupu-kupu datang. kini, hanya ada patahan sayap yang pelan-pelan terhapus dan memindah warna ke wajah cuaca yang kerap melempar cahaya duka. kudengar isakmu menggantikan angin, dan tetap saja sendu requiem berjejal membentangkan kafan, membungkus patahan sayap kupu-kupu tanpa langu lelayu.


lalu, kujumpai ajal mengusung keranda ke celah pintu udara sesak arwah dan kibaran bendera yang bertulisakan nama-nama tanpa raga. aku melihatmu terbaring di samping patahan sayap kupu-kupu. kudengar isakmu melepas angin dan hujan yang tinggal bayangan. iring-iringan pelayat menyayat tanah dengan langkah pasrah. sampai kemudian, kutemukan selubung rumah menjelma kuburan.


Surabaya, April 2007



(Abimardha Kurniawan)

Tahilalat di Bibirmu

setitik dunia berbisik ke sunyi lautku:
ia sebangsa kenang, sebangsa padang
yang menampung selaksa ruang
yang kujelmakan harum bayang-bayang

engkau merangkum senyum
pertanda hujan merapat ke sisi daun
sebelum ranum

dan masih kupilih tahilalat di bibirmu
sebagai titik api
juga isyarat bagi kelasi memutar kemudi
mencari sudut di cakrawala panjang
meski masih ada sepenggal rasa hilang:
tiada daratan ‘tuk arah pulang,
segala merentang tualang
sedang rasi bertutur pasi
tak berkisah tentang cinta yang datang

engkau merangkum senyum
tiada tiba reda, hujan terus bernafas
—deras dan menggerum

maka kucari tambat pada tahilalat
—ya, tahilalat di bibirmu, seperti temali
yang erat mengikat sepi abadi dini hari,
seperti jejak bintang yang tak lekang kubaca,
seperti jalar beluntas di pagar-pagar.
senyummu bangkit mengikut angin,
mencari jalan-jalan sunyi yang bermimpi diberkati,
lalu menjelma bahasa yang enggan dilupa

engkau pun tersenyum
tahilalatmu hiasan yang bertahan
bahkan kekal diguyur hujan

dengan tarian jarum
di lingkar kompas yang gelisah
telah kusapa segala tanda arah,
dan hanya termaktub dua kutub
namun tahilalatmu serupa rahim waktu—
dimana segala bermula, segala bergerak,
segala menua, segala membatu
—menjadi noktah yang menafsirkan
bahwa dunia bertumpu pada satu ibu

lalu kueja setiap gelombang
yang datang mengetuk rumah tanpa gerbang
dan masuk, berkabar tentang sisa kenang
juga rindu perindu yang mabuk

maka kusimpan saja senyummu
—juga tahilalat di bibirmu, ke dalam almanak
yang kelak bersuara selantang lautan,
menyihir ingatan dengan gerimis
yang selalu ritmis kau bisikkan
ya, kau bisikkan


Surabaya, 2007


(Abimardha Kurniawan)

Tiada Kupinang Engkau

tenanglah, tiada kupinang engkau
di bawah hawa sore seaneh ini.

hanya aku bermimpi
jadi seekor enggang
—menyusun sarang di dahan lengang,
mencari ceruk persembunyian
pada bentangan malam berawan
pada rawan di ruang penantian.

tiada akan aku lari, tapi hanya diam,
geming sendiri—memagari diang
seraya nyanyikan nina bobo bernada sungsang,
separau risau, aku berlagu
untukmu, untukmu saja
duhai dara bermata hujan senja...

namun, dengan puisi pun
diri bisa terbantun sengungun daun,
sebab seperti yang kini kuyakini:
antara diri, sunyi, dan misteri
sudah tak terbagi


Surabaya, April 2008


(Abimardh Kurniawan)

Preludium Sederhana, 3

sejak cuaca memerahkan cakrawala
dengan puing cahaya warisan senja,
lengan-lengan waktu seakan datang,
hanya untuk melukis bilur lebam di dasar jiwa,
selebihnya: dunia yang hampa oleh pagutan rahasia
dari balik kata-kata.

aku mengenalmu tatkala angsana meluruhkan bunga,
sebelum tangis gerimis berduyun turun dari utara. kala itu,
tiada percakapan atau kenangan
yang mengundang hujan bernyayi
tentang sepetak beranda yang lengang dan sunyi.

ah, semenjak senja pergi, di udara
menggenang rintih-ratap menggetarkan bulan
lalu waktu menyerahkan jasad ke pangkuan malam.
selaksa pertemuan hanya diam terbungkam,
namun cinta senantiasa memabukkan
meski tanpa kehadiran, ungkapan
—tanpa percakapan.


Surabaya, Juni 2007


(Abimardh Kurniawan)

Preludium Sederhana, 2

sesempurna apa bila hati sunyi, lagi mengigau satu namamu.
masih tak kumengerti, namun kurasai
tanganku lantang tergerak menggali perigi, sendiri
mengharap mata air ruah tercurah, dan kelak membawaku
berperahu menuju muara di hatimu.

debu-debu salju dari beludru sayu bola matamu
mengajakku berdansa di bawah kubah cahaya
lalu memaksaku beku, seraya menghayati musim yang tak kukenali
namun selalu aku akrab senyum cuacanya, yang senantiasa
membuat bunga di taman kota, membuka kelopak rindunya.

duh rita, betapa singkat senja, betapa ringkas segala
seperti sajakku yang sahaja —menyerah pada malam,
terbenam beribu tafsir bisu, tentang diam seekor kupu,
seekor kupu dari hulu senyummu.


Surabaya, Februari 2007


(Abimardha Kurniawan)

Preludium Sederhana, 1

di tajam cermin matamu, kerap aku menemu

sungai yang tak tereja alur likunya


adakah ia bahasa, ataukah gugusan cahaya

yang membawa serta selaksa mimpi bersekam

melintas di jeram terdalam sang mahamalam?



Surabaya, 2006



(Abimardha Kurniawan)

Rabu, 17 Februari 2010

Bulan Sisik Ikan

mengentara jauh di timur balkon sunyi,
terpencil di busur malam
sepotong sisik ikan—yang ternyata bulan
mengumandangkan shalawat diam
menyusuri para-para kelam


Surakarta, 2006


(Abimardha Kurniawan)



Warkop, Ruang Dialog

Tulisan saudara Guntur Yudianta, Budaya Nyantai di Warkop (rubrik Gagasan, Jawa Pos, 23 Januari 2010), memperlihatkan upaya menggeneralisasi makna ngopi (atau sering disebut cangkruk) di warung kopi (warkop), khususnya bagi generasi muda. Ngopi diopinikan Guntur sebagai kegiatan yang menyita waktu belajar dan merepresentasikan budaya bersantai ria. Perlu ada razia sebagai langkah preventif untuk membendung dampak negatif yang (mungkin) ditimbulkan. Tapi, semengerikan itukah?

Sebagai ruang publik, warkop bukanlah institusi yang beku, melainkan sangat cair. Suasana egaliter gampang ditemui di sana. Siapa pun bisa datang dengan beragam maksud yang, secara tidak langsung, punya relasi dengan makna dan fungsi warkop. Tidak jarang, warkop dipilih sebagai tempat diskusi yang dianggap nyaman. Bahkan, banyak komunitas sastra, pergerakan mahasiswa, pemikiran-pemikiran kritis, bermula dari tempat semacam ini.

Ketika dirasa ada kejenuhan dan kekakuan pada sistem pembelajaran di institusi akademik, warkop menjadi ruang alternatif untuk menggerakkan dialektika gagasan. Kesan “santai” memang ada, tapi itu merupakan bentuk melonggarnya sekat dialog antarindividu. Dengan begitu, aktualisasi gagasan lebih mudah menemukan saluran. Akan lebih baik lagi, kalau gagasan itu benar-benar dirancang, hingga menjadi tindakan nyata.

Tidak ada salahnya orang (baca: pelajar, mahasiswa) datang ke warkop, selama punya niatan positif. Dinamika budaya tidak akan muncul dari ruang-ruang yang masih dibayang-bayangi situasi represif terhadap gagasan. Ruang-ruang alternatif terus dicari. Diskusi-diskusi perlu semakin digairahkan. Dan warkop bisa dijadikan pilihan, berbarengan dengan pengertian ruang publik yang, dalam prosesnya, terus mengalami perluasan.***


(Abimardha Kurniawan)


NB: tulisan ini pernah dimuat di rubrik Gagasan (Jawa Pos), 25 Januari 2010, dengan judul "Jangan Generalisasi Warkop"

Mahasiswa dan Idealisme Parsial

Segalanya memang bisa diserahkan pada kemungkinan. Begitu pula segala pola pemikiran yang dimiliki kaum mahasiswa. Mahasiswa, yang diidentikkan dengan dunia intelektual, sangat punya peran membangun dan menerapkan dengan suara lantang jargon tentang semangat pembebasan dan pembaruan. Mereka sering pula diidentikkan dengan konsepsi idealisme yang tertransformasikan ke wilayah praktis.

Pengidentifikasian itu, bisa jadi merupakan gejala generalisasi yang mereduksi pandangan pihak-pihak yang sama sekali belum mengenal dunia mahasiswa, atau mereka-mereka yang pernah punya pengalaman sebagai mahasiswa namun ia hanya punya pengalaman sosial yang berkutat dalam satu komunitas saja sehingga konsepsinya cenderung tereduksi—konsep ideal tentang mahasiswa menurutnya adalah yang menurut konsep komunitasnya.

Salah seorang teman pernah mengatakan, mahasiswa punya kedudukan sosial yang aman. Mahasiswa merupakan kelompok sosial yang “mengambang” atau berada di kawasan perbatasan. Masa-masa saat seseorang menjadi mahasiswa adalah masa-masa yang penuh eksperimen, masa yang penuh coba-coba. Maka tidak salah jika mahasiswa adalah makhluk-makhluk gelisah, yang bisa dengan mudah meninggalkan kegelisahan itu setelah ia bosan. Dan dunia sosialnya tidak akan mengecam secara berlarat-larat karena tahu bahwa mereka masih dipengaruhi semangat mudanya yang menggelegak dan keras kepala.

Berbeda jika mereka telah menjadi sarjana. Tentu, stetmen-stetmen yang mereka gagaskan bukan sekedar thesis eksperimen yang “mentahan”. Jika para sarjana itu “mentah” dalam berpikir, jangan harap bisa bebas dari sanksi yang berlarat-larat. Tanggung jawab sosial seorang sarjana lebih besar, terutama yang berkaitan dengan bidang yang digelutinya.

Jadi, jika semangat idealisme itu dianggap ada dan terrepresentasikan dalam figur masyarakat mahasiswa, mungkin itu merupakan efek dari status sosial mahasiswa secara umum. Semangat idealisme mahasiswa bukan merupakan kenyataan yang utuh, murni muncul sebagai sebuah keberanian totaliter dari seorang (calon) intelek.

Semangat idealisme itu ada karena sebuah konstruksi sosial yang meletakkan mahasiswa dalam posisi yang aman, dengan tanggung jaawab sosial yang kurang begitu dipermasalahkan. Inilah tahap eksperimen itu. Terkadang mereka dianggap kelompok orang yang hanya berpikir untuk besok bukan untuk lusa. Dan setelah ia melepas “gelarnya” sebagai mahasiswa, dan banyak bersinggungan dengan kenyataan-kenyataan yang lebih plural, entah semangat idealisme itu apakah benar-benar ada. Atau, idealisme hanya menjadi jiwa tanpa raga?

Untuk itu, ada yang pernah mengatakan: mumpung masih mahasiswa, idealisme perlu dibangun dan dipertahankan. Mungkin ia sadar, idealisme benar-benar parsial, temporal, bahkan tiada pernah ada.***


(Abimardha Kurniawan)


NB: pernah dimuat di buletin Mercusuar, edisi September 2007

Selasa, 16 Februari 2010

Dari Pusat Kemarau

apakah di luar berkelebat murung mendung
juga dingin tak seberapa yang sampai kemari?

jika benar semua itu,
teriring untukmu sepenggal kabar sendu
bahwa gerimis yang kau rindu
masih termangu di nanar mataku


Surabaya, 2006

18/08/2009, 21:12:13

kujamu denyar lapar rinduku dengan harapan
akan sulut rindumu. malam melontar spora bahasa
ke lembab udara, dan lumut kata-kata
kembali beruntai di sunyi puisi.

diam-diam ada yang terlarut hanyut
di desir darah—seulas senyum ajaibmu,
riang cakap antara kita,
juga sejumlah pesan singkat dariku
yang gagal terkirim untukmu

dan demi sepi kesekian kali
untukmu kuikat coretan basa-basi
lalu lahir serumpun puisi.

barangkali kau tak pernah mengerti,
seperti keluhmu yang selalu
takut dihantui beragam sandi,
tapi memang itulah senarai kecil
tentang sebentang hening
ketika rindu meniris keruh embun
yang ingin bergeming
tersuling sebagai bening...


(Abimardha Kurniawan)

11/07/2008, 13:25:43

apakah guyur gerimis matahari siang ini
membuat engkau diterungku arsiran sunyi?
kulihat kau jatuh menggambar lamunan sendiri
gumammu dirampas tangan-tangan sepi
seakan kau tertegun, menemu arti
daun-daun yang runduk menunggu mati


(Abimardha Kurniawan)

22/08/2007, 04:12:18

lirih suaramu rinai yang terdengar, meski hujan menguar
dan lisut pohon kehabisan debar di pangkal akar.

berkawan dingin menjelang dini hari
derai itu seperti kembali, lalu kuingat jua
sejumput klausa yang pernah kau tinggalkan
setelah hunjam kuku hujan melukai penjuru taman,

“tanah tak pernah salah,
ia hanya pasrah,
seolah menyerah...”

namun kini, pagi ini, kalam suara dan bisik kata-katamu
membatu di lubuk alamat tak tercatat
yang tak tergurat pada kelebat musim
yang singgah maupun lewat...


(Abimardha Kurniawan)

15/02/2007, 17:15:45

jauh di bawah hujan februari
kuminta senja tiada segera mengubur matahari
aku mengerti cinta ‘kan berlalu sedingin hujan ini
hingga pada setiap jengkal nafas kurasai
seluruh musim terampas sunyi


(Abimardha Kurniawan)

Rubaiyat (dalam) Hujan

1.
jarum hujan tajam menghunjam
setelah bismillah tergerai menganaksungai
di atasnya, zarah bintang memejam
senja berderak, malam seakan capai

2.
kutemukan pelataran basah
oleh kaki hujan segala arah
tiba-tiba lampu kamarmu pun padam
kau terisak berbeban ladam dendam

3.
cintamu memutih di batu
sedang gairah terpaku jenuh air
betapa sendu engkau berlagu
menanggung rindu tiada berakhir

4.
terpacak ricik di alir parit
hujan seakan enggan berhenti
suaramu memeram dzikir dan rasa pahit
memendam sunyi di keluasan hati

5.
kucari engkau menyeberang sepi
tapi arus mengikatku
kutambat diri mengurai sunyi
terburu maut menyergapku

6.
bila rinai menyerang rindu diri
adakah engkau musik di lubuk hati
tapi kudengar erang di mulutku sendiri
dan bukan engkau: sakit yang menggapai tepi

7.
seakan tajam jarum hujan menikam senja
di harimu akan tumbuh seribu matahari
meski hujan turun di luas semesta
hariku terumbu berpayung matahari

8.
di rongga malamku, tak kuimpi risau kemarau
atau angin berdebu yang keras mendesau
mimpiku hanya mengais serpih gerimis
juga tak kuimpi matari menangis

9.
maka segala lebur di rahim hujan
lalu berlari aku, pasrah dan terengah
memeluk cumbu, membakar sunyian
kita berpayung, melintas di basah hamdallah


Surabaya, 2007—2009

(Abmardha Kurniawan)

Kinanthi Kesetiaan

adakah kesetiaan menantimu
berbilik mata sahaja seorang jejaka
yang tangannya memapahmu sepenuh rela
‘tuk menyeberang sembarang hampa
dan lengang mahapanjang?

mungkin, kaulah rinduku, meski terasa fana,
sebab semalaman, bersama hujan,
kau bersenyawa ke dinding ingatan.

adalah selarik senyum bahasa lembutmu
yang kutafsirkan sebagai panorama sore
di sebuah ngarai lembah
dengan piuh angin berpilin,
dengan ragam layangan
yang dimainkan bocah-bocah ingusan

sesekali, hanya lembut bisikmu menyebut namaku
yang bisa kukhayalkan melintas,
ketika dari celah atap langit
hujan mengucur kian menderas

turunkan sedikit rindu
turunkan sedikit tirai cintamu
beri penerang suluh di sisi kamar yang hampir luluh.
kuingin hanya satu warna
: warna yang tiada kau ucap pada siapa jua.

juga mesra jiwa yang kau punya,
ingin kutuntun,
ingin kubantun ke lubuk pantun demi pantun

duhai adik, adakah setiap perpisahan
akan mengekalkan kesetiaan? sebab kini
di setiap jengkal pagi, yang kulihat
hanya segenap puing hujan yang semalam lewat


Blitar, 2008

(Abimardha Kurniawan)

Senin, 15 Februari 2010

Engkau, Semesta Bawah Sadar

semuram gumam,
malam mengendap di bibirmu

segera kuurai suaramu, yang kelak
mengalungkan dunia beserta lautnya
yang pasang,
yang garang, namun hening
membius dari taring gelombang

alangkah lembut mazmur kau gumamkan,
kemudian pasir kau sebarkan

tak tergumpal pedih di ingatan,
hanya ada sore yang disucikan
oleh basah cuaca, oleh suara tak kentara,
juga sunyi yang bertopi,
bercadar sampai ke pinggir bumi

idih, bajumu,
bajumu yang kusut
bak bulan tak tersambut,
bolehlah kuusap
dan kusebut lewat lagu
sambil kucecap rasa langu di mulutku”


Surabaya, 2007

(Abimardha Kurniawan)

Di Altar Rumahmu

menyusuri pagi di altar rumahmu
dengan bintang biru melekat di keningku
aku turuni jenjang anak tangga
menuju hulu matamu
dan hujan tiba-tiba beralih rupa
menjadi gerumbulan malaikat dari beranda
dengan tubuh tembus cahaya
serupa sisa airmata dalam kitab-kitab lama

adalah pikiranku
yang selalu mengantar gigil poci tua
kepada uraian rambutmu
agar matahari pagi
lebih remang meneteskan cahaya.
dan sebelum secangkir teh yang kau tuang
mendingin
kumasuki gelisah waktu
bersama embun di penjuru doamu


Surabaya, 2005

(Abimardha Kurniawan)

Orang Berpesta, Matanya Menyimpan Gerhana

sebelum dibuka,
kalender yang diam-diam beruban itu
terus mengajakmu bersulang, memaksamu
mendengar doa-doa gamang
yang sengaja diulang-ulang

sedang di sana, orang-orang lelap berpesta
membakar cemas tanpa nama
dan mungkin segera menyihirmu
beramai-ramai, menyematkan luka
ke saku baju
yang mulai tak betah
hinggap di sunyi bau tubuhmu

mereka kian bersuara
kata-katanya jadi pusaran api,
matanya menyimpan gerhana
seperti kota tua ngangakan rahang
dan siap menelan siapa yang kepayang
siapa yang berjalan
menyandang beban lambang

dan setelah kau membukanya,
kalender berjelatang itu meringkusmu,
lalu meyakinkanmu
bahwa tiada berhala
secantik ingatan akan perempuan
yang merenggangkan dekapan
di ujung sore itu

ah, berlarikah engkau
menuju rindang perdu kesilamanmu
sementara tubuhmu dimabukkan guyuran doa
—doa yang gamang dan terulang melulu?


Surabaya, 2007

(Abimardha Kurniawan)

Embun

—May

bayangkan seakan engkau kelembutan dini hari
yang senantiasa turunkan embun
di runduk rumput dan punggung daun,
serta membuat pagi
berhuni dalam wangi


Surabaya, 2007

(Abimardha Kurniawan)

11 November 2001

—Elok Tri Handayani

antara pagi dan senja, di tengahnya
laut terlipat, perahu-perahu menyelinap
ke retina yang terbuka
seperti sobekan pada tepi amplop surat cinta
yang kau kirim ke alamat asing
yang lama kupendam di belantara peta buta

tapi bagaimana bisa kau eja
rahasia peristiwa yang lintas
atau membatu di pelupuk mataku
ah, bagaimana kau bisa tahu?

sewaktu bulumatamu jatuh ke sudut pipimu,
dunia rindu berkubang di lubuk kenang
bersama ombak kecil yang sopan berlarian
berulang menyapa selamat siang yang kau senyumkan.

tapi, di bawah gumpalan uap beku kelabu,
udara hamil oleh selaksa gerak debu
seperti tinta hitam masa silam
yang tercacar—nyaris sempurna menyaput aksara
penyusun alamat surat cinta yang kubuat
sepenuh hayat:

nafas perahuku berguncangan
: gamang dan sendirian, sedang topan di darat
tak berjalan, atau menggambar sebentuk lengan
untuk mengaduk kuah lautan

kini,
kau tercatat sebagai alamat,
dalam surat cinta yang terlipat
menjadi perahu kertas
yang kulayarkan ke laut lepas
—tak mungkin berbekas,
juga tak terbalas...


Surabaya, 2007

(Abimardha Kurniawan)

Solitude, 2

kuakui, ini tangan tak lantang memberi mayang
penghias, setelah dulu kau minta
berjuta taman yang menawarkan bunga-bunga
tapi tanganku lantang bila kau minta
mendaras kata: tentang lentik jemarimu
atau kerudungmu atau tubuhmu yang ramping
atau bola matamu yang gemar mengerling

ah, mengapa dulu kau minta bunga-bunga
bukan sepenggal kata yang bisa kau gantung
di bingkai jendela. mengapa kau bosan
dengan menunggang alasan:
kata-kata hanya jurang gelap berhantu
dan tak seorang pun mampu menyalakan lampu
bagi semua ruang di rongga matamu...


Surabaya, 2007

(Abimardha Kurniawan)

Solitude, 1

barangkali orang-orang
tak pernah mengerti maksud tawa di bibirnya
barangkali juga mereka tak pernah terjaga
dari tidur-fananya, seperti jarum jam yang berputar
dan tak pernah tau kapan berhenti
tapi mereka itu—orang-orang itu—tetap tidur
dan tak pernah mengerti
sebab (sama sekali) mereka bukan nabi...


Surabaya, 2007

(Abimardha Kurniawan)

Sonet: Kisah Kawah Lumpur

—setelah Porong

“burung-burung menjahit luka di antara gebalau asap
yang mencuri gerimis matahari. bintang hitam tanpa pendar:
berpusar, mengalir di tangan angin, di lubuk bau busuk
yang menjulur dari kawah itu.seseorang menjabat sejarah
dengan tangis, dengan kelu lidah teriris-iris.

“barangkali mimpi akan berenang hari ini,
di kawah ini. lalu mereka isyaratkan jalan menuju laut
dimana maut, beserta runcing karang berlumut, siap memagut
tapi, tiadakah arah lain yang akan menuntun burung-burng itu
untuk sekedar menoreh bebayang, lantas menghilang
ke pusat cakrawala meremang?!”

ah, dari semua kisah yang kau bentangkan
ternyata hanya kota tandus yang kutemukan
selebihnya ilusi mengais hijau, dari kering pohon tak mendesau


Surabaya, 2006

(Abimardha Kurniawan)

Soneta Ardiana

romantisme kotaku melebihi uap kaca, ardiana
terusung taman bawah sadar dan halte lama
lalu mengalir hampa. sebagai cakrawala dan pagar jiwa
hanyalah rumusan angka. tampak bergayut di atap kota

matahari bertubuh gulungan malam. dan dinding kota
selalu berukir syair-syair perjudian nasib
paling buruk. pun mobil-mobil menderu mendedah candu.

lingkari sedikit dari gitar yang luka, ardiana
simpanlah dalam kolom tidurmu yang kasat berbatu.
di kotaku hitungan maut bagai lorong angsana
yang ditinggal darah, bagai setumpuk tanah

yang terjual sejarah. akhirnya, sebuah menopouse kota
adalah rumah bagi lentingan arwah dunia publik
dengan mimpi-mimpi mekanik yang semakin berbalik.


Surabaya, 2005-2008

(Abimardha Kurniawan)

Jendela

jendela: tempat angin mendengar suara percintaan

antara dua waktu, dua ruang

antara dua tepi yang saling menyeberang


adalah juga tempat kita meminta cuaca

memaknai laju cemas, nyanyi para unggas

serta bulir hujan yang bersampan di hibuk batas;


ah, sunyi jadi retas

bila terlihat samar kepingan senja

dan para bocah pulang menyeduh luka



Surabaya, 2006


(Abimardha Kurniawan)

Buat Teman Masa Lalu

aku tak punya mimpi yang mampu menjelma matahari
sebab malam telah membuatku abadi
dengan reruntuh sunyi, serta kematian yang tak bertepi lagi

tapi, bilamana kata-kata temuanku menyala dalam beragam warna kusam
sentuhlah baris-baris sajakku
dengan kemurnian cahaya yang pernah kutitipkan padamu dulu


Surabaya, 2006

(Abimardha Kurniawan)

Candu

khayalan tentang cahaya yang setia berjaga
di sepanjang jalan, sengaja kuciptakan
agar malam terasa lapang
dalam himpitan lengang dan beban lambang.
lalu, kularungkan denyut kata-kataku
lewat celah rindu, parit ngilu, dan jeram waktu
yang dihuni seribu sendu wajah batu-batu

mith, andai semua khayalan itu lekas menyisa abu,
tikam sunyi darahku dengan candu puisimu


Surabaya, 2006

(Abimardha Kurniawan)

Nocturno, 4

mengapa cinta tiba-tiba bersuara
ketika tak terlintas angin di dekat jendela
seakan telah kau mengudar jawabnya
bahwa, duri rindu tiada tawarkan bunga


Surabaya, 2006

(Abimardha Kurniawan)

Nocturno, 3

malam ini,
rengsaku berwudu di relung sunyi.
denting dzikir, fikir, juga getir terakhir
memagut helai demi helai rindu waktuku
duh, mahabbah sunyi cintaku


Surabaya, 2006

(Abimardha Kurniawan)

Kepada Angin yang Masuk Melalui Jendela

—08.04


pagi seakan mati oleh dingin yang kau bawa

di kejauhan sana, selalu saja kau berbahasa
selalu kau geraikan suara demi suara

sementara di sini, kau hanya fasih berbisik
melempar sandi demi sandi

dan masih tak kumengerti


Surabaya, 2006

(Abimardha Kurniawan)

Kepada Angin yang Bertarung di Luar Jendela

—07.50

lewat lubuk mataku, wujudmu tak berbahasa
namun daun itu, pepucuk itu, debu-debu itu
menerjemahkan riam bahasamu
dalam goyang semu yang gumamkan rindu


Surabaya, 2006

(Abimardha Kurniawan)

Kepada Angin yang Bergayut di Tirai Jendela

—07.40

sepagi ini, suaramu pelan tertahan-tahan
namun jangan kau berbisik
karna ‘ku belum paham bahasa risik
bahasa desir, atau gemericik


Surabaya, 2006

(Abimardha Kurniawan)

2/3/2006, 08:59:40

angin yang bersarang di lubuk suaramu
menyapu kering ilalang seperti waktu
sebelum tumbuh hujan dan kata-kata terluruhkan
kupendam deru anginmu
dalam lipatan cerita masa lalu...


(Abimardha Kurniawan)

15/2/2006, 09:20:47

dan februari pun datang memugar sunyi
saat hujan pergi, mimpi telah terkunci
namun adakah sesuatu yang membekas di pasir waktu
selain biru dan kesunyian itu?


(Abimardha Kurniawan)

31/1/2006, 20:07:25

burung-burung pun hijrah ke hening jazirah
merampungkan istirah dalam panjang ziarah
berabad rindunya tumpah
membaca gaung dari gerimis
yang datang mengurai warna tanah


(Abimardha Kurniawan)

25/1/2006, 18:47:02

januari menyelinap lewat gerai alismu
coba katakan, bulan segera tiba
berpupur kabut dan musim penghujan
namun gelisahku kian memutih
seakan februari lahir memilih arus yang jernih


(Abimardha Kurniawan)

28/10/2005, 16:59:45

gerimis adalah tumpahan kata (yang remang) di kaca jendela
kueja awal pertempuran pada kekalahan cuaca
tanpa kubisikkan nama-nama yang berlayar, pergi
sebelum kata-kata pecah di dasar senja


(Abimardha Kurniawan)

26/10/2005, 15:51:31

terbit hujan merimbun di tengah persimpangan
kutemukan sinar itu, kubaringkan pelan
di antara remahan kaca dan ucapan turut berduka
sebab maut pun meneteskan luka-lukanya
mengurai bisa di udara terbuka


(Abmardha Kurniawan)

18/10/2005, 19:07:14

bulan di tepian kolam membiarkan sinarnya
patah oleh temaram, semoga bukan oleh tanganku
yang terlalu ingin menyentuh sudut-sudut muram
demi memperjelas wajah kunang yang mati,
terbunuh atas nama rindu dan malam


(Abimardha Kurniawan)

17/10/2005, 11:04:33

pecahan bulan di sudut matamu tiba-tiba hening
kemudian beku, lalu membatu, sebab tak ada ruang bagi langit
mencipta riuh gerimis dari puing-puing suaramu


(Abimardha Kurniawan)

15/10/2005, 09:50:32

pada gerimis dan airmata segala bermula lalu mengucur
bak gairah angin beriring musim dingin dari bumi yang letih
juga kilasan badai yang berjuntai dari hening yang memutih


(Abimardha Kurniawan)

13/10/2005, 20:31:59

gemetar kata-kataku memilih tinggalkan malam-malam tak berpintu.
mengajak jari-jemarimu, derai dan masa lalu,
membaca muasal rindu yang rebah berabad lalu


(Abimardha Kurniawan)

13/10/2005, 17:20:31

angin yang menyirak rumpun ilalang itu sesekali menepi
untuk dikubur kembali dalam harum jelaga dan tanah basah.
inilah saat di mana daun dan puisi telah diberkati sunyi...


(Abimardha Kurniawan)

9/10/2005, 02:43:15

jemari waktu turut mempertegas jejak bimbangmu
selain sinar bulan dan malam letih
yang ranum menggayuti ranting pohonan.
sebagaimana kau kecup senyum bintang jatuh
di antara milyaran cahaya yang mengotori langit isya
perlahan keningmu gundah menengadah
mencari-cari rongga gelisah
yang tersembunyi di balik khayalan mawar merah
sampai-sampai tangan masa kecilmu
tak lagi bermimpi tentang peri mungil lucu
penabur hening gugusan bintang
penghuni sunyi sudut-sudut bimbang meremang...


(Abimardha Kurniawan)

Sabtu, 13 Februari 2010

Bara Batu

—Putri Utami

bahkan telah kukenal sebentuk kembara
angin yang berpusing di matamu,
seperti gerak sedih bocah-bocah
mengusung jisim daun bambu, memungut
luruh bunga randu, menampung air mata
di sumur batu

ternyata, waktu yang menjangkau rambutmu
ada melebihi hujan yang menggurat longsoran:
sejenak badai berpijak, ranggas bara
menjelma butir-butir bintang yang melayang,
meneteskan cahaya biru
–memecah di ceruk batu

dalam pesan sendumu, kulihat bocah-bocah
berlarian, girang mengejar kumbang
dan bermain, sembari menghisap bebayang pohon trembesi
yang dibuat matahari:

di manakah terik menyimpan dingin angin,
ingin kuterbangkan layang-layang
meski tiada sampai menyentuh langit
setelah benang lunas terentang!


dari arah matamu, percik api membagi duri
lantas membakar gulma
yang menjarah lapang pematang
yang jadi penghalang
palawija tumbuh menjulang

ya, kaulah pembakarnya
gairahmu nyala apinya


Surabaya, 2007

Perjamuan Kota Merah

berapasang-pasang mata
kini menjelma matahari
yang terasing
di ketinggian suara
aku telah terjaga dan menggigil
di antara meja makan,
cangkir-cangkir kosong perjamuan,
dan sisa basi
masakan cepat saji

namun, matamu memandang:
nyalang sekaligus hampa –dan kutelan juga
bersama hamburan asap, bangkai mobil,
potongan bulevar, juga gedung-gedung kaca
yang menyala ditimpa cahaya

bahkan seperti mimpi
kau paksa pohon-pohon menumbangkan diri
lalu mendorongnya masuk ke gelap lambungmu
melewati pahat kesia-siaan yang kau siapkan
di sepanjang pengap lorong kerongkongan

sungguh aku bosan,
kau paksa aku menghafal daftar nama menu
yang tersaji bagi kematianku
hingga kudengar gelas-gelas di jantungku bergetar
seperti jerit kota yang terbakar
—tersekap deretan angka lanjut usia

idih, mulutku terus bersendawa—tak henti-hentinya
menguarkan kekosongan
tubuhku penuh lilitan tanda tangan
dari sekian surat perjanjian yang kau niscayakan
apa yang kau pertanyakan?
kau sekap kata-kata dari mulutku
dengan dering telepon tanpa jaringan,
tanpa kabar berita,
tanpa lawan bicara

sampai akhirnya,
dengan semua ini
musti kubaca lagi garis takdir ini
sebelum aku beranjak pergi
dari perjamuan
di kota merah ini


Surabaya, 2005—2007

Lagu Uzur, 04:59

luka dan cerita, sejumput cemas
juga gelap yang singgah ke jantung kamar
aku memandang jendela
sebuah pagi dan pukul 5 yang tergesa, berbenah
berarak ke barat kota

sebentar lagi udara sibuk, tegang
meski lengang...

luka dan suara, barangkali dunia
yang menjejak kaki di kamar ini, adalah ruang kita
atau catatan usang yang dulu kau buang
tapi kupungut dan kutimang. ah,
pagi dan pukul lima yang tergesa. separuh hatiku
mengecup candu masa lalu

walau sebentar lagi
udara sibuk, tegang—dunia lancang menista kenang


Surabaya, Mei 2007

After Midnight Lover

dan datang merasuk segala yang membujuk
sayangku, sunyikah itu
pemintal benang suaramu?

di puncak malam itu
akulah dengus peronda yang riang bernyanyi,
menabur kerlip konfeti,
serbuk bius, juga pedih setanggi
dari uapan rinduku
yang mengitari perbani

tapi, adakah dingin mengajakmu bermain
atau berkisah tentang bulan kesepian
di langit-langit mimpiku
yang hampir menjelma runtuhan
oleh beban kasmaran
dan serbuk-serbuk hujan?

sayangku, kusapa awal pesona
ketika cahaya hitam menerkam malam,
ketika jalan-jalan tengadah
—pasrah tergenggam basah,
alangkah pelan sunyi terdengar
serupa denting gitar menggeletar samar.

lalu aku menyelam ke lubuk tidurmu
menuliskan kembali sajak-sajak dungu
tentang seorang ibu
yang birahi menyusu
ke puting anaknya
yang terbujuk sunyi waktu

sayangku, barangkali di sini,
akan kutempa curiga
atas segala yang pulang dan yang tiba
sebab aku—riang peronda yang setia membaca,
berjaga demi cinta yang terjaga,
meski di tanganku
malam berai, lekas usai,
dan seluruh pagi
tumpah
—berderai ke dingin lantai,
lalu mengalir gontai,
sebimbang arus
dipecah batuan sungai


Surakarta—Surabaya, 2006

Reportase Penunjung Pantai

05.45

mith, pagi ini wujudku adalah patung memandang laut
matahari membakarku dalam nyala bersemu perunggu
gelombang seakan hilang tenaga
mengusap bibir pantai sepi yang lama dikuasai batu-batu ini

di sini, aku malas bertanya soal angin
ia ada melingkungiku
telapak tangannya, yang dingin itu,
seakan berabad mengenal lubuk jiwaku

—mungkin kau juga tahu...


06.10

di sini, yang kemarin burung-burung
sekarang bocah-bocah
apa yang mereka cari?
apa yang mereka temukan?

tangan-tangan kecilnya lamban menjentik punggung air
hingga merupa kecipak doa. langkahnya membuat jejak
di lumpur pantai yang berangkat melandai

mith, pagi ini, laut tak mengirim amis nafasnya
yang terwarta hanya risik cemas dan dingin yang mati

—mungkin kau juga mengerti...


06.30

akhirnya aku pulang menuruni jalan
dengan sedikit pandang menjaring keluasan
tiada yang hilang, selama lipatan jiwa
mengenang pasang semalam saja

dan meski berulang kudatangi pantai ini
juga kucium kesedihan ombaknya
aku siap berdiri memencil di tepian
demi sebuah kedatangan sekaligus kehilangan

—mungkin kau juga rasakan...


Surabaya, 2006

Trembesi

ruh kita bergayut di pohon tanpa riwayat

datanglah, saat mabukku

memintamu berbaju rindu


tapi mengapa lekas rindang bila kau datang?

mengapa ada gamang bila kau pulang?


sebab kulihat gaun bulan terlantar di dahan

dan cinta menjadi tiada selama waktu terjaga

datanglah, saat kata memberat

saat ruh cemas terlepas

berulang ditikam hujan-panas


tapi mengapa lukai tanah sendiri

jika harus berpijak lagi?


sebab air mata bukan sembarang perkara

tapi kita membuatnya sederhana

—sepi makna



Surabaya, 2006-2008

Perempuan Berkerudung Hujan

sebelah kakinya menginjak rerumput halaman
sedang yang lain: tertinggal di bahu jalan

“oh, perempuan berkerudung hujan, usah jadi peragu, lihat
seekor ular menggelesur—mengintai sepasang apel di buluh jantungmu.
masuklah, diamkan sunyimu ke seberang pintu,
penghujan masih tersisa, dingin terhela seperti biasa.”

maka diseretnya langkah. kedua belah kakinya
—yang mungil lagi jelita, menapak rerumput halaman
meninggalkan riuh rusuh nan retan
di bahu jalan


Surabaya, Maret 2007

Kepada Pelataranmu

kepada pelataranmu—hujan berpijak

dengan kaki seruncing mata tombak,

dengan nafas sengau

bagai resah daun kehilangan hijau. akan

lekas malam bila senja berbaju sisik hujan

dan masih di cermin matamu:

kulihat seorang bocah terengah

—menanggung pelarian di tengah hujan


suara siapa tiba dikabarkan bunga?


ketika selubung rumah hampa,

pintu-pintu berkarat engselnya

dan mengunci diri: tiada terbuka,

jendela itu masih segar memapar sebentang luar

dimana kutemui tangismu, atau jari-jemarimu

lincah menyirak bunga jambu, sembari nyanyianmu

terbantun di bawah madah yang meraung

membaringkan musik arwah penunggu gunung,

—mengurung gaung


jika sepi menuntunmu ke pematang sunyiku

maka jadilah embun yang merantau

demi lukisan hujan di kanvas kemarau. sejenak udara ganjil

setelahnya kembali khusuk merabuk gigil

dan terasa, senyummu melepas rama-rama

ke ekor senja: meninggalkan penyap pelataran

menggapai bicara yang pecah di udara



Surabaya, Februari 2007

Ketika Kata tak Lewat di Sana

senja yang membuang jarum gerimis
di batas temaram dan kelam
—bagai decak langkah pejalan menyeberang pematang,
ya, pernah kuingat gumam yang kau beri:
seperti gerak hujan di runduk rumputan,
sesunyi angin pagi

kueja dalam seratus nyeri
ketika kata tak lewat di sana
bagai guyur daun sepanjang musim
membangkitkan isak kota tua di rongga dada

aku sesak mengenang angin
angin yang tiupkan dingin gaib
dari lembah tak berpenghuni
dari hutan-hutan patah hati

ah tiada segala
—semesta, gugus purnama,
ataupun irama kereta yang melintas di cakrawala—
hanya lolong panjang serigala
jauh di dasar jurang mimpi—tiada mengentara

selamanya hujan tak pernah reda
butirnya memadat
menjadi kerikil di aspal jiwa


Surabaya, Januari 2007

Jumat, 12 Februari 2010

Nocturno, 2

seperti kubayangkan bulan turun tanpa gaun

guguran daun bertasbih di gigir kubur

setelah terbantun


tuhan, berapa jarak untuk kita menepi

merapatkan tahun?



Surabaya, 2006