Minggu, 13 Juni 2010

Magnum Opus

saban malam aku terlambat pulang. mengapa bisa begitu. tanya saja burung hantu yang ngorok di pojok kamar itu! huh... maksudmu galileo? atau mungkin plato? Atau semangkuk nonsens yang morat-marit di lantai bersama saus, keripik usus, dan gema ultrasonik yang dipecah kelelawar penunggu lumbung saat paceklik. o, mungkin saja itu sebuah piknik dari siang bolong hingga tenagh malam yang mlompong. coba katakan “sepi” sampai tiga kali. sepi. sepi. sepi? apa kau juga mengerti? aku belum menerti sebelum tubuhu tertusuk gerutu televisi. apa kau paham umpatan pemabuk yang diam-diam kehalaman rumahmu lalu menginjak-injak rumput setiap malam? aku bukan sokrates, bukan aristoteles. aku bukan gemetar bintang yang bimbang, atau nelayan gasang yang pulang tapi di tengah gelombang terbunuh ceracau camar yang riang. ah, mungkin kau tuhan? bukan. pejalan? bukan. batu-batu berserakan? bukan. lantas siapa yang kau peram dalam mimpimu semalam. dia dan aku bukan siapa-siapa, kau tahu itu, bukan siapa-siapa. apa aku harus bertanya pada gadis berkerudung yang membaca peta di lantai pertama. o, dia yang selalu bertanya apakah hidup ini hanya sulapan saja. ya, persis yang kau ucakan. persis? seperti bunyi kulkas mengerang dan mendesis? seperti bau kaus kaki yang kau lempar, lalu kau sulut bensin? api maksudmu? kau selalu saja menduga apilah yang bersalah, sejak dulu, sejak wujudmu meninggalkan rumah. oh, rumah yang ramah. tapi ini semacam ramalan, atau lebih tepat dongengan. tentang tuhan atau senja yang mengenang kuyup rumput saat hari hujan. ah, semua manusia jadi peziarah ternyata. aku masih payah dan terengah; menampar wajah sendiri sebab bayang-bayang penghuni kaca menatapku lalu tertawa. kaca? kaca yang kemarin pecah dan raib di lambung sejarah? begitulah.


Surabaya, 2006



(Abimardha Kurniawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar