bagai sebuah kubus berongga yang satu sisinya terbuka, menganga, menengadah ke angkasa, seolah ingin selalu menampung lelehan hujan yang sederhana.
Rabu, 31 Maret 2010
Untitled, 3
mohon jangan lekas kau suguhkan sepasang tingkap di bawah alismu
kepada pejam dan hawa malam yang mahir menyihir halimun abu.
Surabaya,19 April 2009
(Abimardha Kurniawan)
Selasa, 30 Maret 2010
Untitled, 2
untunglah, hampir habis tandas segala tanda untuk menandaimu.
yang tertinggal hanya satu, yaitu segulung kering daun kusam yang
masih sempat
bergayut menunggu larut menjatuhkan ke hening alir selokan
Surabaya, 19 April 2009
(Abimardha Kurniawan)
Senin, 29 Maret 2010
Untitled, 1
bergeming: meminang ngiau pejantan kucing...
Surabaya, 19 April 2009
(Abimardha Kurniawan)
Sabtu, 27 Maret 2010
Kamar Kiriman, 1
tak kujemput ketukanmu di hulu segala pintu.
ayahku telah membuat perahu, meyihir ruang tamu
jadi ruang tunggu dan laut tanpa warna biru.
pada dua tempat itu, menunggu ibuku
menanggung wajah sepah, selelah minyak berjelantah
tak ada yang bisa kupanggil adik
kecuali sebaris lirik dan enam bingkai potret diam
bergambar balita dengan mata digayuti malam yang curam.
semua berangkat menua, seakan semua perlu
menuju kecup di bibir para debu
tapi, mataku menyigi pasti
kuhunus seratus endus, dan aku berlayar
mengumbar dengar yang tak berpagar
aku pun memburu wujud masa lalu
:tempat semua pangkal dan ujung saling berhubung
berpelukan, di hadapan dian dan sampiran
barangkali nanti, setelah kutemukan semua itu
ayah, pulangkan ke tepian perahu buatanmu
lambaian ibu masih menunggu
seperti pembangkang yang tak lekang
memukul lengang dengan parang dan adegan perang
Surabaya, 9 April 2009
(Abimardha Kurniawan)
Kesempurnaan
datanglah ke negeri terjauh
yang tak pernah terwarta bahasa dan suara manusia
Surabaya, 2008
(Abimardha Kurniawan)
Kau Bujuk Hujan
bergumam di siang hari,
kau biarkan ia
berkisah tentang dingin dini hari
(segera kugamit payung
kulawan hujan yang terus mengurung)
mungkin sengaja kau cipta langgam di situ
–di hujan itu–
agar aku turun menyapamu
meminangmu,
lalu kau minta aku
meniupkan jeda waktu
ke sunyi bilik rahimmu
Surabaya, 2006
(Abimardha Kurniawan)
Rabu, 17 Maret 2010
Kuburan
di liang tertimbun semak dan rengsa ini
dengan jisim dan ampas nafas
kita sandang aksara nama, barisan kata
juga angka demi angka yang kita
tiada pernah benar-benar mewariskannya
KA Sancaka, Agustus 2007
(Abimardha Kurniawan)
Jumat, 05 Maret 2010
Dispenser
air tak membiakkan gelembung
tapi kau kehausan, sayang
cuaca menyihir ranah datar di luar
jadi serpih kulit tembikar
yang pecah dan terlantar
tak ada yang memintaku untuk rindu
sebab tiada sentuhmu
meminta air dari lengang garbaku
: entah hangat, entah dingin separuh beku
dan akhirnya, hanya ada sunyi
membiakkan gelembung sendiri
Surabaya, 6 mei 2009, 13:35
(Abimardha Kurniawan)
Di Warnet
masih ada yang kau rindu sampai bertalu:
kelepak burung-burung yang terbang ke lintas penjuru
sambil menggambar jelajah pada atlas terlipat itu
"ah, kau tak benar-benar membuka jendela, kawanku..."
Surabaya, 5 mei 2009, 13:34
(Abimardha Kurniawan)
Kamis, 04 Maret 2010
Enaknya Bikin Uap Batubara
menggusur gelambir lemak dukacita
dengan mandi uap di sauna neraka
Surabaya, 27 april 2009
(Abimardha Kurniawan)
Selasa, 02 Maret 2010
Setelah Dering Telepon, 4
subuh jadi hampa tanpa sedu dan isakmu.
oleh karena itu, telah kubuat lubang di setiap perahu
biar si lanun gamang nan lancang
tak bisa membawa kau bertandang ke seberang
Surabaya, 12 April 2009
(Abmardha Kurniawan)
NB: puisi ini saya tulis di milis Apresiasi-Sastra dengan nama samaran Herdianto Azvalazie
Setelah Dering Telepon, 3
selepas subuh pun berlalu
coret namaku dari semua buku absenmu...
Surabaya, 12 April 2009,4:52
(Abimardha Kurniawan)
NB: puisi ini saya tulis di milis Apresiasi-Sastra dengan nama samaran Herdianto Azvalazie
Setelah Dering Telepon, 2
sementara yang tersisa
hanya jejak parfum kemarin senja
dan tisu lemas yang teremas di atas meja,
selebihnya hanya ada jam malam
dan seorang satpam
yang berjalan lumpuh di ambang subuh
"tuhan, biarkan malam dan sunyi
memukul tiang listrik satu kali..."
Surabaya, 12 April 2009, 4:20
(Abimardha Kurniawan)
NB: puisi ini saya tulis di milis Apresiasi-Sastra dengan nama samaran Herdianto Azvalazie
Setelah Dering Telepon, 1
angin tenggara terlalu ganas menggerutu
kasihan kucng-kucing itu
bila lelatu lepas dari rokokmu
dan membakar beranda dan gombal-kumalmu
bung, kasihan kucing-kucing itu
angin tenggara semakin kencang, bukan begitu?
Surabaya, 11 April 2009, 9:51
(Abimardha Kurniawan)
NB: puisi ini saya tulis di milis Apresiasi-Sastra dengan nama samaran Herdianto Azvalazie
Stop Press
tuhan telah digadaikan tanpa uang jaminan
sementara orang-orang masih menyimpan ingin
menyiram nyala api dengan angin dan dingin bensin
Surabaya, 11 April 2009
(Abimardha Kurniawan)
NB: puisi ini saya tulis di milis Apresiasi-Sastra dengan nama samaran Herdianto Azvalazie
Lagu Juragan Lapar
ketika pagar dibakar orang gila.
o lala, lagu ini siapa punya
ketika kata berkaca di sorga maya."
ada yang mengira tangan kanannya
sembunyi di saku dan gudang bawah tanah.
tapi kutemukan, ia telah terpenggal
dan terlantar di lapangan rumput
bersama jejak tertinggal dan daun-daun tanggal.
"apa kau mati, juragan?
apa hanya setumpuk lapar yang berkoar
setelah semalam para pengonar
membakar pagar dan gudang penimbun hartamu?"
kukira ia tak mengerti, sebab tak ada amnesti
dari radang dendam orang yang ditinggal mati
orang-orang berlalu saja. kelewang yang disandang
seakan lega melontar hajat ke nadi lehernya,
ke nyawanya, ke gudangnya, ke rumahnya,
ke istri-istri simpanannya.
"o lala, lagu saya lagu lama
juragan lapar ringkih di kubur sana
o lala, lagu tua lagu neraka
dendam bersekam api di rongga dada"
Surabaya, 11 April 2009, 9:21
(Abimardha Kurniawan)
NB: puisi ini saya tulis di milis Apresiasi-Sastra dengan nama samaran Herdianto Azvalazie
Hari Sabtu dan Serdadu Kalah
yang pernah dihuni hujan malam. seekor kucing runduk,
setia menyusui anak-anaknya. sepeda tua diparkir
di sisi mesin jahit tua,
seperti panorama manula penjaga makam di pinggir desa.
oh, hari sabtu pulang dalam lesu, seperti seradu yang kalah
dengan dada berliang hangus, berdarah.
pagi terluka parah.
Surabaya,11 April 2009, 08:53
(Abimardha Kurniawan)
NB: puisi ini saya tulis di milis Apresiasi-Sastra dengan nama samaran Herdianto Azvalazie
Kuatrin Setelah Mitha Bertanya Soal Nomor Ponselnya yang Pernah Hilang
mungkin iniah jalan tempat kata dialirkan
bukan cuma jajaran angka, tapi sungai
yang gelisah mencari muara serta makna lautnya
Surabaya, 13 Januari 2007
(Abimardha Kurniawan)
Post Scriptum, 2
di ujung senyummu sebelum akhirnya aku jatuh cinta seutuhnya
pada hujan, malam, kesunyian angin, juga daun gugur
Surabaya, Juni 2007
(Abimardha Kurniawan)
Senin, 01 Maret 2010
Sajak tak Tersua
matahari melepas gaun bercahaya. dalam satu kecupan saja
kata-kata lebur melabur warna merah, jingga
serta nila yang bersenyawa di luas udara. kulihat
dedaun runduk memanggul makna,
keberangkatan ini
merupa hangat yang berkhianat pada lembut cuaca
adakah serupa jelaga?
sayu tatapanmu menyimpan malam yang sempurna
namun dinginnya tiada sampai membangun sarang
sarang bagi jalan kesetiaan yang lebih panjang dan fana. kini
rumah batinku hidup dalam cekal bebayang
sembari masih kusimpan lanskap lukisan senja
—di mana kabut-kabut muda berkejaran
dengan gelap dan lindap yang berarak,
berduyun dan bersorai
menuju belahan lain dari waktu
yang membatu
di ceruk lesung pipimu
nurita, senja adalah lembar terakhir sekaligus pertama
yang musti kau baca dalam bahasa sederhana
aksara bertebaran seakan melepas muatan
harapan membisu ketika tak tersua sajak
dalam kilat remang senja di matamu
yang kuyakini, waktu tak pernah susut dan undur
meski gerak jenteranya sengaja kau kubur
dalam uzur mazmur, kerikil pasir
dalam timbun batu berlumut anyir
nurita, kabarkan senja yang lain
yang ada melebihi dingin
Surabaya, 2007
(Abimardha Kurniawan)
Lukisan Bulan Sabit
kalaupun purnama merupa di udara
masih terkenang bulan sabit
bersampan di cakrawala senja
siapa pun datang memanggul sampiran
setelah pulang, hanya terekam peristiwa, diam
menatap kenangan dalam lukisan
Surabaya, Mei 2007
(Abimardha Kurniawan)
Jiwa
jiwa adalah burung,
sedang raga sangkarnya.
ia bebas mengelana,
menuzulkan risalah debu
dan serbuk bunga ke hampa rabunya
sebagaimana ia percaya:
tiada dusta di luas angkasa
Surabaya, Maret 2007
(Abimardha Kurniawan)
Kuatrin Hujan
terbukanya gerbang langit adalah rinai jenuh butiran embun
siapa berjalan, siapa diam bila rerumput kalut lalu ngungun?
adakah ia menulis di air, di bawah desir, di punggung bumi yang tertakdir?
ah, hujan dalam diri serupa ihwal di jantung bumi: pergi dari sunyi, pergi untuk sunyi
Surabaya, 2006
(Abimardha Kurniawan)