di pagi milik pohon-pohon, matahari pelan menarik tali busur
panah-panah cahaya melesat, seakan likat, dingin tak seberapa pekat
hanya lewat. di bawahnya penyair merapat, di hadapannya
— rerunduk ranting tua, runduk yang termakan usia,
bergeming, penjuru pagi kemuning, disepuh angin nan bening
penyair:
hai, kering jemari ranting tua,
yang tiada tumbuh bunga pada ujungnya, mengapa
mengapa menunda patah. padahal telah jatuh pula sejarah, buah demi buah.
padahal kawanan burung gereja
berulang hinggap dan terbang. mereka tiada kau sapa
hanya ringkih saja kau mengangguk dan bergoyang...
ranting tua:
penyair, aku hanya bertapa. aku tak bahagia
hanya dengan cakar burung gereja. bila kutatap senja
kutatap juga angin mampat semakin renta,
bagai pemain piano tak kenal nada, kubuang segala bicara
kuingin musim berhenti, atau mundur sekali lagi.
tapi aku belajar membaca pesona akan waktu yang berlari,
dan mengikat ingatan akan tanah tandus berhumus
dengan daun-daunku yang rela menjelma kata
— tentu dalam sajakmu jua
sekarang, dengarlah hei penyair, kembangkan dengar
tangkap bulu-bulu angin yang lepas.
rasai daunku meluncur menurut alur rambutmu.
aku tiada beruban, meski kulitku kusut, pokokku rentan,
belulangku serawan perawan,
tapi dengar dan lihatlah dulu
— rasakan dunia memencil di matamu
penyair:
ranting tua, aku birahi membawa namamu kembali.
dirimukah biji yang dulu kutanam
ataukah adam mengajarimu bersetia pada dunia
seraya melihat anak-anaknya berebut kavling tanah di selasar surga?
bagiku, tua hanya racun usia, dimana
masing-masing kita dipaksa mencari kaca
menemukan bebayang kita
yang malas bersegera dewasa
tiadakah kau merasakannya, hai ranting tua?
rating tua:
penyair, tiada aku percaya tanganmu penuh duka.
bahkan ketika deras kata-kata purba yang kau punya
bergegas ke muara, tak kulihat,
juga tak kurasa, beku salju menuju cair,
meski niatmu, seluruh musim dingin segera cair dan berakhir
penyair, kesepianmu patung perunggu.
kesunyianmu arang serapuh debu.
mulailah bernyanyi, peras anggur jiwamu.
tanam benih kesabaranmu,
sebelum hujan mengirim badai,
dan banjir jadi benteng terakhir
bagi sebuah kota
yang terlahir untuk nyinyir
mungkin, kau harus jujur sebagai penyihir
usah uarkan pekik bahagia
setelah kau lepas isyarat—dalam berlaksa lambang
serta kata-kata yang keras kepala
penyair:
itu hanya sejengkal jarak, tak kukuasai bunyi hati.
namun semua samun,
semua terberkati sebagai pencuri
ranting tua, beri aku daunmu
sebelum kutunggangi beburung takdirku
sebelum aku pergi, dan laut bangkit
menderaikan ombaknya
— melimbur pecah, mengunyah nyawa
ranting tua:
hei penyair, basahi dulu telapakmu.
musim panasmu sering memaksa cerminmu berdebu.
rangkul debu-debu itu,
ajak mereka bertemu dengan percik air di ujung jarimu
lalu lepaskan,
biarkan cermin mengurai bayanganmu
penyair:
selalu aku risau memandang kemarau
wahai, ranting tua
ranting tua:
baiklah, remas daunku
bayangkan tiada dosa bila tanganmu basah oleh getah:
ia hanya darah kekasih,
yang lesatkan anak panah bercahaya
ke lampu sorga yang kian redup nyalanya
di pagi milik pohon-pohon, penyair dan ranting tua
sama merindu makna. lalu puisi meninggi,
menyusul matahari, meneteskan cahaya...
Surabaya, 2007-2009
Abimardha Kuniawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar