ke telinga sungai, tasik berbisik,
“akulah laut yang mengajakmu bercumbu
dengan batang jantan retak, menyemak,
yang bernama gemulung ombak.”
sementara di tengah kota, perempuan bermata baja
menghisap ganja atas nama tuhan yang dihina, dikhianati,
juga demi para nabi penghuni lembaran kitab suci,
“aku tak gila, aku tak gila!”,
teriak perempuan bermata baja,
“aku hanya pembela agama
— agama yang dinista begundal dan mafia”
“ssst... diamlah!” tegur penyair nyinyir.
maka dibuatnya manifes-manifes kosong, serta
selembar tiket tanpa tanggal pemberangkatan
”kapan ini kota bisa kutinggalkan?!”
bocah-bocah asyik bermain ayunan, prosotan,
papan jejungkitan di tengah taman,
ditemani seorang nenek peyot
yang biasa berjalan ngotot, meniru-niru robot.
“nenekku, ceritakan tentang sungai dan laut di bait satu”
nenek lantas menggambar bulan sabit berlambung buncit
dengan krayon yang disimpan di kantung kutang,
“ini perahunya, aku pinjam dia dari si tua bangka
— nuh yang tak dipercaya anaknya...”
“nek, apa kau sudah gila, ceritakan saja.
aku ingin mendengar laut megayun batang jantannya,
dan sungai mengerang panjang dibuatnya, hihihi...”
bocah-bocah tertawa geli, hingga tiada lagi
tempat sembuyi bagi sebaris gigis di deret gigi.
“cucuku, nanti sebelum senja, kota dilanda bencana
— banjir, puting beliung, badai tiada hentinya.
tuhan sedang tak enak badan di langit sana”
“huh, baiklah, aku minta saja tuan penyair membuat cerita”
ke telinga sungai, tasik menggelitik,
“di muara ada ranjang terapung.
wahai sungai, jangan kau murung
laut hanyalah bujang lembut nan perenung.”
“tapi ia gemar bermain tenung!” pekik sungai yang tiba-tiba
duduk di atas sofa, matanya tak lagi serupa baja,
tapi merah lentera pengundang birahi mata di luar kaca
“silakan menikmati,
seorang paderi dilarang berdiri di sini”
“duhai penyair, keberangkatan akan ditandai hujan
bukan hanya tiket satu jurusan yang dibutuhkan
tapi tuhan, tuhan yang kesepian, dan lama ditinggalkan.”
seru suara tak nampak, bagai bergolak rawan, jauh di kejauhan.
“nek, aku ingin lihat gambar porno”
“no!”
dan telah terdengar sungai beranjak mengalir
menuju bulan, sedang igauan laut tiada berakhir
mengalir, bergulir, terus mengalir...
“lautlah orang gilanya!” teriak penyair
mulutnya anyir berlendir-lendir.
sementara perempuan bermata baja
menuduhnya — pemuda gasang budak renjana
“tapi ia tak punya nafas segiras kuda”, nenek sinis
matanya memandang laut menggulungkan batang kemaluan
— eit, maaf, sekali lagi — ombak berlepasan
sungai berbisik ke telinga tasik,
“penyair hanya manusia bugil yang menggigil oleh dalil,
penyair punggungnya dekil, pikirannya muskil.”
“yuuhuu, aku orang barat, kau orang keparat!”
penyair bersijingkat, lalu melompat
bocah-bocah menunggang perahu buatan nenek
mereka menurut aliran sungai di belakang taman.
di bangku, nenek bersangga tongkat
— duduk termangu, sendiri dia menunggu.
tiba-tiba perempuan bermata baja melepas gaun,
meyulut rokok dengan centil. dari celah jendela rumah bordil,
dilihatnya laut menjulur bagai tangan lelaki jahil,
“hush, jangan sentuh aku!”
padahal langit pun turun, digandengnya malam
ke balik rimbun perdu di tepian taman
— tempat bocah-bocah bermain ayunan dan papan jejungkitan.
langit dan malam berciuman, liar bercumbuan.
“awas, kalau nyium jangan salah!” sergah bocah-bocah.
mereka berlarian setelah langit geram mengancam,
“awas, nanti kuturunkan geluduk dan hujan!”
nenek tetap duduk, bocah-bocah menghapus
gambar bulan sabit—yang katanya perahu itu.
ternyata, sungai galak juga, kepada laut dia tak suka
“nek, mana pelacurnya? kami ingin bertemu.”
sungguh gemulai geliat sungai, bocah-bocah mengangkat
sesosok perempuan sekarat dari tubuh sungai,
“ini pelacurnya, ini pelacurnya!”
“cucuku, dia magdalena”, nenek pelan berkata.
kata-katanya layu, lunglai, lemas dan bergegas
turun ke lantai, dan meringkuk
— mengenang dinding garba yang remuk tak berbentuk.
“nek, aku mulai ngantuk”
“jangan dulu cucuku, kita belum temukan
siapa yang pantas dikalahkan”
penyair berlari, hujan pergi, langit dan malam
lemas di tepian taman. perlahan tubuhnya ranggas.
tapi langit mengenang peristiwa pada bait pertama
langit menghubungkannya dengan tepat,
yaitu dengan bait laknat keduapuluhempat.
di sisi perdu, malam pun jatuh cemburu,
“ceraikan aku, ceraikan aku.
tapi pulangkan dulu anak-anakku
mereka butuh susu, tugasku hanya membagi susu”
“hehehe, bukan untukku?” penyair coba melucu
malam melengos, pergi, langit pun sendiri.
nenek masih bercerita kepada bocah
tentang seorang dara yang dijarah bromocorah.
“nek, mana adegan mesumnya?”
tanpa mereka sadari, penyair tiba-tiba berdiri.
bocah-bocah kaget, jantung nenek hampir kepleset.
“hei bocah, kau akan dibenci sejarah”,
penyair tiba-tiba menyergah
“huh, peduli amat tuan penyair”
penyair mencabut penanya, lalu ditikamkannya pena
ke tubuh sungai, bukan ke tubuh bocah.
tapi perempuan bermata baja itu menyeru,
“sungai tempatku bertumpu!”
“nek, lekaslah, apakah si dara
jadi dijarah bromocorah?”
nenek segera mengayunkan tongkat
— dikejarnya orang gila yang tiba-tiba
melompat dari judul di atas bait pertama
bocah-bocah mengkerut, tapi masih disimpannya
peristiwa lucu-berpeluh sebait sebelum bait keduapuluhtujuh.
nenek sudah semakin jauh
“aku ngantuk, mana adegan mesumnya,
ini puisi porno atau sebaliknya — penuh wacana,
penuh rencana-rencana masuk surga? tapi mengapa,
penyair tak memperkosa sungai atawa perempuan bermata baja?”
seorang paderi berpeci masuk puisi
sungai, juga perempuan bermata baja, coba menghadangnya
sang paderi angkat bicara dengan berkata,
“biarlah bocah-bocah kujaga”
sementara dari balik tirai jendela rumah bordil,
penyair nyinyir menyindir, “silakan menikmati,
seorang paderi dilarang kencing berlari.”
jauh di puncak bukit gundul nan masygul, orang gila
menari-nari gila, mulutnya mengigau dan berkata,
“ini masih setengahnya, masih setengahnya!
belum pula huru-hara, kaliyuga, menyentuh batas pamungkasnya...”
(bersambung)
Surabaya,2007-2010
Abimardha Kurniawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar